Sunday, March 18, 2012

Damai Itu Indah


Angkat dua jarimu kawan !

Dunia ini makin terasa sempit bila gemuruh di mana-mana.
Yah, kau tau negara tempatmu berteduh ini hanyalah negara yang mampu saling menjajah. Dengan ketololan publik media makin gila membuat pasar pusing dengan suntikan sinetron dan cabikan SARA.

Sesungguhnya media rasis. Sesungguhnya mereka memaksa kita mengerti apa arti dari elo-gue. Plis deh, kamu pikir aku ini tinggal di Kota Metropolismu !

Pemerintahan tak henti-hentinya di maki oleh rakyatnya. Tak satupun rakyat mampu memncerminkan dan ikut melancarkan program pemerintah bahkan presiden kita. Sebut saja SBY.
Yah, inisial sudah cukup.

Perlu diadakan pelatihan menjadi bawahan. Soalnya latihan kepemimpinan sudah terhambur di mana-mana. Mesti ada pelatihan menjadi rakyat yang baik. GAk brutal.

Rusak semua fasilitas umum dengan kebrutalanmu. Kita tinggal di satu wilayah namun merusak satu sama lain.

Pemerintah rusak rakyatnya dengan uang.
rakyat rusak dirinya karena ikut-ikut media barat stupid nan sinting.
FREE SEX jadi budaya, jajah perempuan dengan kelamin, jajah lelaki dengan matre !
Dunia apa ini?

Satu cara, berdamailah dengan emosi dan dirimu sendiri. Mungkin itu bisa membantumu menjadi stabil, tak lagi labil.

Yah, sebenarnya di usia berapa seseorang dikatakan stabil.

ketika tiiit melakukan tindakan kotor di usianya yang masih SMP. Dia berkata.

"saat itu saya masih labil."

Lalu, mereka yang sudah dewasa pun banyak yang melakukan hal kotor di pub murahan, labil juga kan?

Kontrol !

Dunia ini gila. Kita saling menjajah, saling merusak. Menjadikan kawan sendiri sebagai saingan.
Kalau mau bersaing jangan dengan teman sendiri, karena temanlah yang buat kita berhasil bukan saingan kita.

Persetan dengan aturan dunia.

Sudah kubilang, aturan agama yang LOGIS. Dunia gak masuk akal.

Semua itu hanya kebijakan untuk keuntungan beberapa pihak.

Oh, tidak, Aku berusaha menjadi warga yang baik untukmu presiden. Karena aku telah memilihmu seraya mencelupkan kelingkingku yang mini-mini sweet di gelas tinta hitam rock n roll saat itu.
Yah, berdamailah. Mari damai, termasuk antar parpol yang ada.

Jangan turun ke parlemen mewakili partai, tapi mewakili rakyat!

namanya kan DPR (DEWAN PERWAKILAN RAKYAT) bukan DEWAN PERWAKILAN PARPOL.
bersatulah, angkat dua jari !

DAMAI LAH RAKYAT DAN PEMERINTAH.

:)

Saturday, March 17, 2012

Bunga Itu Dia





Tirai ini kubuka, sesaat seakan kumenatap sebuah gambaran kilasan cahaya. Akankah mampu kutelusuri hidup baru ini? Waktu yang panjang telah kulalui, masa-masa yang sulit pun telah aku jalani, embun itu seakan menguning, arti dari segala hal telah memudar.

Apakah benar bersama setangkai bunga ini aku akan bahagia? Banyak bunga yang telah kucoba, kucoba untuk merasakan bunga itu satu per satu, banyak rupa terlihat, banyak watak tersirat, namun mengapa kujalani semua bersamamu kini?

Bukan berarti diri ini menyesal, namun diri merasa berbeda, kadang ku masih mengingat wangi bunga-bungaku yang dulu, dan bunga terakhir yang sempat kumiliki, bagaimana kabar bunga itu sekarang? Bunga itu mungkin tak tahu, bila aku telah memasang janur kuning dihadapan rumahku, dan sesaat kutermenung di malam sunyi ini, kurasakan sesuatu membelai leherku, terasa hangat namun sangat geli. Membelai wajahku, dan saat itu kuteringat sosok bungaku yang terakhir, aku ingin dia yang membelaiku, aku ingin merasakan semua ini dengannya, namun mengapa? Tangis berderai, air mataku berjatuhan, aku pun ingin bunga terakhirku yang mengusap air mata ini, namun mengapa setangkai bunga ini yang melakukannya?

Setangkai bunga ini mungkin berpikir. Tangis ini karena kutakut harus melakukannya malam ini, dan melepas semuanya malam ini, tapi bukan karena itu, aku ingin melakukan semuanya dengan yang lain, dengan bunga terakhirku. Isakku semakin dalam, aku tidak mampu menahannya, kuterduduk diatas malam, setangkai bunga itu berdiri dihadapanku, dia masih membelai wajahku, menghapus air mataku, tapi ini harus kulakukan, aku miliknya sekarang.

Dosakah bila aku menghindar? Dan aku sangat merasa berdosa bila aku melakukannya bukan dengan bunga yang kucintai, aku ingin menolaknya, namun kini kusadari kutelah hanyut dalam belaiannya.

***

“Pagi Hanum!” sapa ibuku saat itu, aku hanya dapat mengangguk, dia melihatku berjalan dengan lemas, seakan tak bisa hidup. “Num, awalnya ibu juga begitu!” kata-kata ibuku seakan beliau menyangka aku begini karena semalam, tapi bukan karena itu, tapi karena aku menyesal melakukannya semalam. Aku lalu beranjak dari tempatku menuju ke taman bunga dibelakang rumahku, disana aku terus mengeluarkan air mataku, perih hati ini, mengapa aku melakukannya?
Kuambil secarik kertas, aku ingin mengirim sepucuk surat ini kepada bunga terakhirku.

Kuingin katakan padanya, bahwa aku telah bersama yang lain. Tapi rasa bingung sejenak menyelimutiku. Dengan kata-kata seperti apakah kuharus menjelaskannya? Apakah dia juga punya yang lain? Dan telah menjalani sebuah malam bersama yang lain?

Dulu, bunga terakhir itu adalah kekasihku, namanya Serdan. Aku dan dirinya telah lama menjalani hubungan, sebenarnya sudah ada persetujuan, tapi dia pergi, tanpa kabar angin. Tapi dia sempat berkata akan kembali, namun tidak ingin menjelaskan kemana dia pergi. Kedua orang tuaku tidak mau menunggu, terpaksa kubiarkan diri ini bersama yang lain.

Jahatkah aku padanya? Sungguh aku tidak pernah mengucap janji akan menunggunya, namun dia berjanji akan datang padaku. Namun tak kunjung jua menghampiriku.

Esok adalah hari yang berat. Aku harus tinggal seatap dengan bunga yang berstatus suamiku. Bunga ini bernama Deran. Deran begitu lembut padaku. Awalku dikenalkan padanya dia dengan ramah menyapu keheningan yang ada seraya membuat suasana menjadi sehangat mentari.
Tapi tak seindah Serdan. Lelaki yang kokoh yang sangat kuat, selalu ada di setiap hariku, serasa bagai nyawaku. Nyawaku, nyawa bagiku.

Aku masih hidup, masih bernafas walau Serdan tidak disampingku. Aku masih mampu hidup. Tapi bagai mayat hidup.

***

Hari bahagia bagi Deran datang. Senyumnya begitu hangat. Ruas jarinya terseka, kututup kosong dalam ruas jari itu dengan jari-jariku. Ku tutup bibir yang tak kunjung mengatup itu dengan bibirku. Sekali lagi, aku menangis.

Tidak, aku tidak menangis bahagia. Aku mau Serdan. Aku mau menutup bibirnya. Aku mau mengisi celah dalam seka tiap jarinya. Namun apa daya. Tiada daya.

Pikiran kuno sempat menghiasi. Mengirim surat? Kepada siapa, akan ke mana surat itu tertuju. Serdan, maafkan aku, maafkan aku.

***

"Aku mau kamu, aku mau kamu jadi bagian dalam diriku," urai Serdan seraya mengecup keningku.
"Aku juga mau, tergantung kamu sayang. Kalau kamu mau aku pasti mau," kataku hangat sedikit manja seraya melingkarkan kedua tanganku di perutnya.
"Kalau aku jauh, kamu mau tunggu aku," tanyanya.
"Siap komandan, aku menunggumu," kataku.
"Kalau aku datangnya lama buat kamu, masih tetap mau nunggu?"
"Memangnya selama apa? Kamu mau buat aku jadi perawan tua dan kau pinang aku di usia tua?"
"Bukan itu maksudku. Aku bertanya sekedar ingin tahu,"
"Lalu, kalau kamu tahu?"
"Aku mau tahu Hanum!"
"Aku tunggu kamu, tapi semua di luar kehendaki ku, aku tidak pernah mampu meraba apa yang akan kuhadapi esok,"
"Aku mampu merabanya, aku mampu,"
"Kamu mau raba apa?" tanyaku sedikit menggoda.
"Masa depan kita Hanum. Kalaupun ada yang menyentuhmu lebih awal dariku, aku tidak akan menyesal, aku tidak perlu jadi yang pertama buatmu. Cukup jadi yang terakhir dan selamanya untukmu."

***

Khalayan itu kandas seketika saat Deran menepuk bahuku. Dia sekali lagi tersenyum. Jika dunia terasa indah dengan cinta, mungkin aku akan bosan dengan senyuman yang baginya berarti cinta.
Serdan, sungguh maafkan aku. Sangat sulit ketika dihadapkan dengan pilihan hati dan orang tua. Namun aku percaya, orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Aku yakin Deran terbaik untukku.

Aku akan belajar mencintainya. Belajar memberinya hidup dan bahagia. Aku miliknya kini dan nanti. Aku bersamanya, namun Serdan?

Perjalanan panjang mengantarku pada rumah yang aku sendiri tidak yakin kalau ini rumah. Tampaknya seperti suatu tempat bercinta ala dongeng. Penuh dengan tanaman hijau dan bunga mekar dipenuhi warna yang coraknya tak mampu kulukiskan satu per satu. Corak yang sedikit mengganggu mataku. Salah satu bunga itu berwarna terlalu terang, namun indah. Tak perlu menunggu suami pulang membawakan bunga layaknya film-film yang menggambarkan keromantisan hubungan sepasang kekasih di dunia karangannya.

Tak seperti itu, aku punya banyak bunga setiap hari. Dan aku punya bunga hati.
Pagar tinggi menjulang dengan lebar sekitar satu meter yang kurasa cukup berat untuk di buka oleh seorang penjaga rumah yang kurasa dengan segera kan memanggilku NYONYA.
Warna coklat elegant dari pagar itu sungguh menarik, apa ini berlebihan? Tidak, ini yang Tuhan beri untukku, apa sekaranglah saatnya aku bersyukur? Saatnya ku bersujud?

Tidak, aku selalu melakukan itu. Berharap tak pernah meninggalkan kebiasaan ibadah itu.
Gagang pintu itu bila kupukulkan ke kepalaku jelas sudah aku akan mati, jelas sudah cairan merah mengalir dengan tenangnya lalu berjatuhan hingga tubuh ini pucat pekat.

Peach. Warna lembut yang dipilih untuk jadi warna yang senantiasa terinjak, diinjak, sengaja injak. Injak saja. Sumpah, aku ingin meludah! Apa Deran akan marah ketika lantai ini kuludahi? Aku tak pernah melihatnya marah. Kuharap tidak pernah, aku ingin cinta.

***

"Hanum, berapa kali harus kukatakan. Jangan pernah kau sangkut pautkan hubungan kita dengan cara kita menjalaninya," kata Serdan keras membuat gendang telinga ini berdengung tak beraturan.
"Maksud kamu?"
"Aku cinta sama kamu Hanum. Jangan salahkan hubungan kita, jangan salahkan cinta kita. Jangan Hanum! Caraku memperlakukanmu yang salah. Aku terlalu takut kau hilang," jelasnya buatku sedikit tenang.
Kadang ku tak kuat menerima perlakuan seperti itu. Dia tidak pernah memukulku. Hanya saja sedikit membuatku jantungan bila murka. Dia marah karena cinta. Dia marah karena dia tidak ingin aku terluka. Tapi dia marah dan nyaris memenuhi hati ini dengan luka. Jangan Serdan, aku cinta. Jangan ubah cinta ini.

***

Haruskah kupikir ketika Serdan marah agar aku mampu melupakannya. Manusiawi, marah itu manusiawi, Nabi pun di beri emosi, di beri kemarahan namun sabar.

Tuhan, apakah Deran jodohku? Nagai membeli barang di toko yang berhamburan produk dengan berbagai macam brand dari dalam maupun luar negeri tak lupa dihiasi segudang barang bajakan dan tiruan yang akrab disapa KW Super dan kawan-kawannya.

Aku tidak srek dengan barang dihapanku ini (Deran). wajahnya tampan, tubuhnya tinggi, berotot, putih untuk ukuran lekaki, rambut sedikit memerah, bibir tipis berwarna pink, pipi yang halus, hidung mancung, tatapan hangat dari kedua bola mata coklat itu. dan tentu saja isi dalam celana yang mantap.

Tapi apa iya Serdan lebih dari yang ada dihadapanku ini?
Dia lelaki tinggi dengan senyum sinis bertubuh kokoh, bergaya ala musisi yang senantiasa menyenandungkan lagu beraliran hard-core, metalcore, bahkan death metal. Namun terkesan rapi, bersih dan sangat menarik.

Dia sempurna bagiku, aku mencintainya. Masih.

***

Istana ini begitu indah bagiku. Tuhan terima kasih atas segala yang Kau beri untukku. Cinta dari Deran, istana megah darinya, materi yang tak mampu kugenggam, segudang cerita cinta yang ku bangun setiap hari bahkan setidap detik dengannya.

Usia pernikahan ini menginjak setahun sekarang. Tak terasa sudah empat tahun ku tak bertemu serdan dan telah bercinta selama setahun dengan Deran. Namun sampai detik ini tak juga momongan menghampiri rahim di balik perut ini.

Adakah yang salah dengan cara kami melakukannya. Adakah yang kurang kami pahami? Kurasa kucukup sebagai perempuan untuknya. Cukup mampu membuatnya melayang hingga mentari hendak menyapa di pagi hari.

Aku ingin mendapat sapaan baru. Layaknya pasutri yang lain. Sapaan hangat dari bayi. "Mama". Aku mau sapaan itu, sungguh mau.

Deran begitu menyanyangiku, dia begitu sabara, tidak sedikitpun menuntut, namun sangat mengerti keinginanku untuk menyapu tangis bayi.

Dia pun melakukannya untukku. Dia berlagak layaknya bayi, emanggilku mama, memelukku, bermanja di buah dadaku dengan gaya bayi, dia menghiburku. Membuatku tertawa dan berkata.

"Mama sabar yah, mungkin belum sekarang saatnya anak bayi yang panggil mama, jadi biar suami yang berlagak bayi dulu yang memanggilmu mama," katanya hangat.
Daren, terima kasih.

***

Satu tahun lebih enam bulan telah kulewati. Berita yang bagiku sedikit buruk namun membuatku penasaran. Jujur aku mulai mencintai Daren. Aku rasakan bahagia. Aku diberi cinta dan kehangatan. Aku mulai mencintainya. Sekali lagi kutegaskan, AKU MULAI MENCINTAINYA.
Serdan datang. Lebih dulu menghampiri keluargaku, di rumah Ibu. Dia mengecup punggung tangan ibuku layaknya perlakuannya sewaktu dulu saat menjamuku di rumah.

Ibu sontak tak kuasa menahan keheranan dan takut akan apa yang terjadi. Aku yang telah berkeluarga. Aku melihat Serdan. Kebetulan sinag ini aku berkunjung ke rumah Ibu, aku kangen pada Ibu, aku sangat merindukannya, merindukan Ibu.

Aku berkunjung dan Serdan datang. Aku tak menyapanya lebih dulu. Dia semakin dewasa, sungguh tak kuasa memalingkan pandangan ini dari dirinya. Tuhan yang mana dari mereka anugerah untukku, dan manakah yang jadikan cobaan untukku. Tuhan aku telah merasa bahagia dan mulai mencintai, apa maksud semua ini Tuhan? Bila Serdan datang bersama seorang perempuan yang menggendong bayi, mungkin aku cukup tenang, karena kami impas. Namun apa yang ku lakukan? Tuhan jawab aku! Jawab aku Tuhan! Bisakah Kau langsung menjawabku?
Di balik tirai dalam rumah kutertegun terpanah entah tersentak, entah kaget entah apa pun itu yang tak mampu terurai dari kedua belah bibirku. Aku tak kuasa. Aku takut, apa ini Tuhan?
Ku dengar mereka bercerita depan pintu, Serdan meminta maaf karena baru datang sekarang dan mengucap syukur karena katanya kami sekeluarga masih menetap ditempat yang sama. Apa? Kami? Aku sudah tidak di sini, aku punya istana bersama Daren.

Dia utarakan tentang lamanya kepergiaannya. Hingga kini baru bisa hadir dihadapan keluargaku. Dia menanyakan keberadaanku.

Ibu. Iya Ibu, dia ibuku tidak menjawab di mana keberadaanku. Ibu dengan lancangnya menjawab.
"Hanum telah bersuami," jawabnya.

Entah, aku tak tahu namun aku mampu merasakan. Serdan kecwa, tepat dia kecewa dan sangat kaget. Dia terdiam. Terdiam cukup lama. Sangat lama tanpa suara, atau mungkin tak bernafas. Tas ada buih dari bibirnya, tidak ada, tidak ada busa, yah tidak ada, dia tidak meminun racun. TIDAK SAMA SEKALI.

"Maaf Serdan. Kedatanganmu untuk apa?"
"Ibu, aku pun telah dengan tulus menganggap Ibu dari Hanum Ibuku sendiri. Telah dengan usaha cukup besar akan datang meminang Hanum. Maafkan kepergianku tanpa kabar. Ibu yakinkan ibu Hanum bahagia?"
"Ibu yakin Hanum bahagia. Ibu sangat yakin Hanum bahagia. Ibu berharap kamu pun bahagia Serdan,"
"Aku yang salah. Aku pergi meninggalkan Hanum, aku yang salah. Aku salah Ibu. Asal Hanum bahagia, aku pun kan bahagia."
Tangisku tak bisa tertahan. Tuhan, dia begitu tulus, dia kembali menepati janjinya, ucapannya padaku. Tapi ke aman dia selama ini. Aku ingin menemuinya.
Langkahku cepat menuju pintu. Namun yang tersisa hanya punggung Serdan, hanya punggungnya yang terlihat, bukan wajahnya.
Ibu lalu menutup mulutku untuk tidak memanggilnya, Ibu menyeka air mataku. Ibu mengerti aku. Ibu mengerti Serdan kecewa, namun apa daya ku telah menikah.
"Seeeeeeeeeeerrrrrrrrrddddddddaaaaaaaan!"

Tak kuasa ku tahan. Dia berbalik, melambaikan tangannya.
"Kalau aku harus jadi yang terakhir mungkin bukan di dunia Hanum. Dunia sementara, aku mau yang terakhir dan selamanya, aku menunggumu di keabadian," katanya mendekatiku. Lalu terhenti, tersenyum, dan berbalik menjauh.

PlayBoy Terbaik




“Pagi benar kamu berangkat kuliah, Ndre?,” tanya mama yang dari tadi sibuk menyiapkan sarapan pagi, dan berharap Andre bakalan banyak makan, “nggak, mau jemput Sandra dulu, biasanya Sandra lama, jadi Andre datangnya lebih cepat supaya kalau Sandra liat aku, dia bakalan lebih cepat dandan dari biasanya! Jadi cewek slow sekali!” jawab Andre, “jadi cowok kamu mesti ngertiin cewek, kamu mesti sabar anak mama yang paling cakep! Sandra cantik kan buat kamu juga,” kata mama sambil merayu, “ah… cakep dari segi apa? Justru sebenarnya Andre itu malas jalan sama Sandra, nyebelin! Maunya dituruti terus, kalau Andre mau tegur, Sandranya nggak mau denger.” Lalu Andre berlalu begitu saja, tanpa pamit dan sarapan sedikit pun. Dia berangkat kuliah dengan wajah sedikit ditekuk.

Setibanya di rumah Sandra, “pagi say… tumben nih lama, ku udah nunggu kamu dari tadi!” kata Sandra dengan hebohnya, “kok bisa kamu yang nunggu? Biasanya aku yang nungguin kamu lama banget! Tau gitu, mending tadi aku sarapan dulu, biar kamu nunggunya tambah lama! Perutku bunyi-bunyi mulu nih!” “ih… kok kamu ketus banget sama aku? Ayo deh berangkat sekarang!” tiba-tiba Sandra kaget melihat Andre membawa motor, tidak seperti biasanya, apa mobilnya Andre nggak ada bensinnya ya? “Mobil kinclong kamu mana?” tanya Sandra, “kenapa? Nggak suka naik motor ya? Lebih enak lagi, aku lebih untung, soalnya kamu dibelakangku!” wajah Sandra sedikit muram, bibirnya dimajukan kedepan. “Ya.. udah.. kamu naik angkot aja! Angkot juga kan mobil!” “ya… udah….. aku naik angkot aja!” kata Sandra dengan penuh emosi, “dada… dada…. Sandra!” kata Andre lalu menyalakan motornya dan pergi begitu saja meninggalkan Sandra yang sedang menunggu angkot. “Andre… kamu serius? Kamu gila!” lalu menaiki angkot yang menghampirinya.

Begitu Sandra tiba di kampus, “eh… Sandra, ternyata aku duluan nyampe’ ya?” kata Andre dengan senyum nakalnya, “kamu..!” kata Sandra singkat lalu Andre meninggalkannya.

Begitu Andre bertemu dengan Iyhan temannya, “bro… cewek kamu yang centil itu mana?” tanya Iyhan kemudian, “nggak tau, tadi aku liat dia selingkuh sama supir angkot, soalnya waktu aku jemput dia di rumahnya, dia langsung aja main kabur langsung naik ke angkot kesayangannya!” jelas Andre, “haha… artinya Sandra cewek keberapamu bro?” “kesekian….” Jawab Andre lalu mereka tertawa bersama, “hah?! Kamu kurang ajar! Tapi aku yakin, kalau Sandra kamu bener-bener ada feeling!”

Mendadak ada mahasiswi baru, cewek yang berparas manis dengan body seksi, tapi merupakan cewek yang mempunyai tutur kata yang sangat sopan. “Hai…!” sapa Iyhan dengan tampang mengejek, “kalau sama kamu dia nggak demen!” kata Andre lalu mengeluarkan jurus terjitunya, “mahasiswi baru ya? Pindahan dari mana?” tanya Andre, “hai… namaku Bian, aku pindahan dari Jogja, kamu siapa?” tanya Bian kembali, “wah… ternyata cewek ini manis banget..! kata-katanya enak didengar, tampangnya aja kayak cewek gampangan, tapi sepertinya dia bener-bener buat aku tertarik,” guman Andre dalam benaknya, “kenapa diam? Pertanyaanku kan belum dijawab!” tanya Bian lagi, “ah… sorry! Aku Andre, kenapa kamu pindah disini sih? Eh… secara Jogja lebih keren dari pada Surabaya,” “ah… menurutku nggak, aku kan lahir disini, cuma baru sekarang aja balik kesini,” jelasnya, dan andre langsung terdiam, malu juga, jelas-jelas tinggal di Surabaya, masih muji kota lain, dan mendadak Sandra menghampirinya. “Oh… jadi begini caranya? Eh… cewek baru, kamu ini calon pacar atau udah pacarnya? Bego’ kamu mau sama dia, di kampus ini aja mantannya udah nggak keitung, dan detik ini juga Ndre, aku bakalan jadi mantan kamu, kita putus!” kata Sandra tegas, “terus, kalau kita putus, aku bakalan menderita, malu, karena kamu mutusin aku depan umum dan depan cewek baru ini?” tanya Andre, “kamu itu nggak ada kapok-kapoknya, jujur, aku sayang sama kamu, tapi nggak gini caranya! Kamu memang playboy terbaik yang pernah kutemui! Aku heran kok bisa punya feeling sama kamu?” “oh…. Terima kasih nona Sandra sudah memujiku playboy terbaik. Kalau gitu aku mau pergi dulu sama t-e-m-a-n baruku Bian, dada… sayang!” kata Andre sedikit emosi lalu merangkul Bian dan pergi meninggalkan Sandra sendiri, “teman?” kata Sandra bingung dan merasa malu sendiri.

Waktu pulang pun tiba, Andre pulang bersama Bian, Sandra yang melihat hal itu langsung merasa jengkel dan menghampiri sebuah angkot, dan Andre pun menegurnya, “eh… nona manis, naik angkot lagi? Pulang bareng yuk! Eh… lupa, ada Bian dibelakangku, ya… udah… bye… bye… mantanku tercinta!” “Sandra liat kelakuan mantanmu!” kata Zoi dengan emosi, lalu Sandra hanya diam.
Di rumah, Sandra hanya diam sendiri, dia mikir, “kira-kira Andre serius nggak sama Bian? Atau memang hanya bermaksud sebagai teman? Ih… aku yang bodoh, karena sayang sama playboy!”

Keesokan harinya

“Sandra…” panggil Bian, “ada apa? Mau memberi kabar baru mengenai hubunganmu sama Andre?” “nggak Sandra… justru aku mau jelasin semua, kalau Andre nggak seperti yang kamu kira, dia jujur sama aku kalau dia itu sempat tertarik sama aku, tapi selalu masih kepikiran kamu, walau dia sempat merasa bosan, soalnya kamu selalu mau dituruti, kadang nggak mau denger dia, dan nggak mau nerima dia dalam keadaan dukanya!” jelas Bian, “maksudnya? Dia masih ada feeling kan? Masih kayak dulu? Dan dalam keadaan baru kenal, dia berani curhat ke kamu? Pasti kamu nanya macem-macem makanya dia berani curhat?” “seperti itulah.. kamu tanya langsung aja ke dia, aku minta maaf ya!” pinta Bian, “tapi aku sempat mikir, kamu cocok sama Andre,” “makasih udah anggap ku cocok sama Andre, secara dia menarik, yang jelasnya dia itu playboy yang beda dari yang lain, mantan-mantannya yang kamu bilang itu, cuma cewek yang ngejar-ngejar dia, bagi dia cewek agresif yang terlalu gila enak dimainin, cewek yang lainnya semasa SMA nggak serius! Kamu mestinya bersyukur, punya cowok banyak yang suka, coba kalau banyak yang benci, artinya kamu salah pilih kan? Soalnya sesuatu yang dibenci pasti buruk!” “iya… kamu bener juga, tapi dia itu tetep aja kurang ajar, jujur aku malu!” “udah deh… kamu baikan aja sama Andre ya!”

Di parkiran kampus

“Andre…” panggil Sandra,
“mantanmu yang centil datang Ndre!” kata Iyhan.
“Ndre… sorry, aku… ak..”
“kalau nggak niat ngomong, nggak usah manggil, buang waktu!” kata Andre jutek,
“aku datang kesini baik-baik, tapi kamu nanggepinnya dengan jutek banget, aku sekedar mau bertanya, apa yang dibilang sama Bian bener apa nggak?”
“apa? Bian? Emang dia bilang apa?” tanya Andre kasar, sambil memegang pundak Sandra,
“hm… Bian… bil..”
“ah… terserah… Bian mau bilang apa? Yang jelasnya aku masih sayang kamu!” kata Andre,
“aku tetep sayang kamu Ndre!”
“iya… tapi kamu itu nyebelin, ngeBe-Tein…!” kata Andre lagi,
“aku minta maaf! Kamu masih mau kan jalan sama aku?” tanya Sandra,
“jelaslah! Sorry kalau aku sempat buat kamu naik angkot terus,”
“ah… nggak masalah, kasihan kan Zoi selalu pulang sendiri, sekalian nemenin Zoi, lagian aku nggak mau tergantung sama kamu, kamunya kan yang maksa buat pergi dan pulang bareng ke kampus!”
“ya… udah… kalau gitu kamu naik angkot aja terus, supaya Zoi nggak sendirian, dan kamu nggak kegantung lagi!” kata Andre usil sambil mencubit pipi Sandra,
“ih… kamu nyebelin banget sih!”
“lalu Sandra pergi meninggalkan Andre,
“San… tunggu..! aku bercanda..”
“aku juga!” kata Sandra dengan mengejek.(Terbit @KekerMagz edisi perdana)

Aku Adalah Anugerah




Sebuah kamar yang ukurannya tak lebih besar dari dapur, tak seluas ruang tamu, namun tak sesempit kamar mandi. Ruangan inilah yang kuanggap sebagai surga, tempat kucurahkan segala perasaanku, dan tempat yang mampu buatku tersenyum bodoh sendiri dalam sepi tersenyum didalam dukaku yang sangat dalam yang tak mampu kupendam lagi. Satu ruangan paling istimewa bagi sebuah keluarga, adalah ruang keluarga, tempat berkumpul bersama dan berbagi canda dan tawa. Aku tak sendiri di rumah ini, aku memiliki ayah ibu yang terlalu sempurna bagiku, dan aku memiliki seorang adik perempuan bernama Fhani, dia duduk di kelas 3 SD, terlalu jauh perbandingan umurnya denganku, karena sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMA, aku sudah cukup dewasa seharusnya. Sesekali kuterdiam berpikir, bisakah aku ikut berkumpul di ruang keluarga bersama semua keluarga? Canda tawa tak pernah terhenti terdengar dari ruangan itu, tapi sedetik saja ku berdiri disitu, canda tawa yang menghiasi ruangan itu seakan menghilang. Terkadang adik kecilku yang selalu memaksaku berkumpul. Tapi tak mungkin bagiku, wajah ayah dan ibu seakan penuh kegelisahan bila aku mulai hadir bersama mereka.

“Tuhaaaaaaaaaaaaaaan…………. Bukankah aku dilahirkan di dunia tuk merasakan kasih sayang?” air mataku tak tertahankan lagi setiap merenungi kisah hidupku. Aku masih mampu mendengar, musik masih mampu kudengar dan masih setia menemaniku. “Aaaaaaaaaaarrrgh!” inginnya kini kuberteriak sekencang mungkin, tapi tak bisa, tak mungkin, hanya suara serak bagai radio rusak yang akan keluar dari kedua belah bibirku.

Bibi Ati berjalan menaiki tangga menuju ke kamarku. Sedih aku melihatnya, tapi mungkin kisahku lebih sedih bahkan menyeramkan tak pernah terpikir olehku, mengapa bisa seperti ini, nyata! Bahwa manusia tak semua baik, bahkan kini kutemukan dihadapanku makhluk yang tidak tahu malu, yaitu orang tuaku. Bibi Ati, dialah orang yang merawatku dari kecil, dia yang meredamkan tangisku, dan memadamkan amarahku, mengelus rambut dikepalaku, terima kasih, masih ada yang memikirkanku.

Hari ini, dengan penampilan yang sangat menarik, kulangkahkan kakiku menuju kebelakang pintu, kuraih tasku, saatnya ku menuju ke sekolah, dimana semua orang yang mengerti diriku ada disana. Dengan sabar bibi Ati menuntunkun berjalan, aku sudah cukup dewasa untuk selalu dituntun. Aku kini berusia 17 tahun, beda dengan beberapa orang dan teman-temanku, mereka sudah mengenal cinta, tak mungkin bagiku, cinta bahkan kasih sayang dari orang tuaku pun tak kudapatkan, apa lagi mencoba mencintai? Mustahil! Tak lama tibalah aku di sekolahku yang sangat kucintai, salah satu SLB di kota terbesar. Ayahku seorang pengusaha kaya raya, terlalu penuh dengan gemilangnya harta, tapi sedetik pun tak pernah dia menegurku, memarahiku, bahkan memukul, jadi rasa sakit hati yang kurasakan bukan karena KDRT, masih syukur aku diizinkan tinggal di rumahnya yang bergaya classic Eropa itu, walaupun dengan sangat terpaksa kuharus tidur dikamar yang bergaya warung tegal atau mungkin warung kopi. Sedangakan ibuku sendiri yang merupakan seorang public figure, yah… bolehlah aku sedikit berbohong, dia cantiiiik!

Sempurna bukan mereka? Sedangkan aku? Autis, dan lututku cacat, tak mudah bagiku berjalan apalagi berlari, tapi aku tak selemah yang kalian pikir. Anganku mungkin terlalu tinggi, terlalu kelewat batas, sangat berlebihan, sebenarnya anganku sederhana, tak perlu uang banyak bahkan harus belajar ke China untuk menggapainya. Aku hanya berharap sekali saja mereka mengizinkanku mengecup pipi mereka, aku hanya ingin katakan aku sayang papa dan mama! Seperti yang selalu dilakukan oleh adikku dengan manjanya. Walaupun tak ada pengakuan dari mulut mereka bahwa aku anaknya, setidaknya adikku menyayangiku, walaupun dia hanya tau aku sebagai anak bibi Ati, “aku bakal anggap kakak seperti kakakku sendiri!” katanya padaku dengan manja saat itu, aku hanya terdiam dan berkata dalam hatiku “aku memang kakakmu!”

Jujur, aku sayang mereka, tapi tak dapat balasan. Banyak anak diluar sana yang terus mencaci orang tua mereka, padahal orang tua mereka sangat menyayangi mereka, dan menerima mereka dengan apa adanya. Inginnya aku berganti orang tua dengan mereka, ambillah orang tuaku yang kaya ini! Alasan logis bagi mereka tak mengakuiku. Padahal aku tampan walau terlihat bodoh.

Di ruang kelas kini kududuk dengan tenang, semua terlihat sangat bahagia, senyum dibibir mereka sangat lebar, tentu saja, hari ini kami belajar seni, siapa sih yang nggak suka seni? Apalagi kalau mereka berjiwa seni dah punya keahlian dibidang seni. Fasilitas sekolahku untuk semua pelajaran bahkan seni sangat lengkap, inginnya tinggal disekolah lebih bagus dari kamarku, tapi dirumah hanya bibi yang mengurus, kalau pilih tinggal disekolah, siapa yang sudi mengurusku?

Semua temanku mulai menunjukkan bakatnya, ada yang berbanyi, berani sekali! Padahal nyanyian yang terdengar sangat samar, mengertilah, tapi aku bangga padanya. Ada yang menari daerah bahkan ngelawak, lucu sekali! Bagi sebagian orang yang normal pasti tidak kan mengerti yang lucu dibagian mana? “Roni!” mendadak bu Siska memangilku, dia adalah guru tercantik disini, walaupun aku autis, aku tidak buta dalam menilai seorang wanita. Dengan sigap kuberdiri membawa stik drum milikku, bersyukurnya aku, walaupun lututku cacat aku masih bisa bermain drum, karena untuk berdiri saja aku tidak sempurna, tapi terkadang bila lama bermain lututku terasa perih. Setiap hari, aku pulang sekolah sore hari, hanya untuk belajar bermain drum. Orang tuaku memang kaya, namun karena menganggap aku bukan anaknya tak satupun fasilitas yang mereka berikan untukku, termasuk drum, padahal membuat studio rekamanpun mereka mampu. Sampai detik ini mereka tidak tahu kalau aku seorang drummer, bila aku pulang larut malam, mereka tidak pernah mencariku, bahkan memarahiku, aku seperti angin yang tidak terlihat, hanya bila bibi Ati menemaniku, pasti mereka mencari bibi Ati, dengan alasan tak ada yang menyediakan mereka hidangan malam. “SETAN BEJAAAT!” seakan ingin kukatakan pada mereka.
Kebetulan sekarang belajar seni, maka dari itu semua temanku beraksi. Sebentar lagi aku akan mengikuti festival musik. Aku punya band, personil bandku terdiri dari semua teman sekolahku, vokalisku lumpuh, gitarisku autis sepertiku, begitu pula bassis.

Tibalah saatnya ku beraksi, “Roni, kamu pasti bisa!” itu kataku dalam hati. Butuh waktu lama bagi kami untuk menaiki panggung, maklumlah kami anugerah terindah. Walaupun Reva sang vokalis harus tampil dengan kursi roda, namun suaranya tidak kalah bagusnya. Aku masih bisa mendengar suara musik, memang cukup lama bagiku dengan temanm-teman untuk mempelajari musik. Perlu penekanan secara perlahan agar musik itu sampai ke sasaran otak yang paling utama. Untuk mencari nada yang pas untuk suara sang vokalis pun tidak semudah anak band pada umumnya. Butuh satu bulan mungkin untuk satu buah lagu. Untung saja hasil latihan kami selalu memuaskan. Harus sabar melatih kami penuh dengan kekurangan. Tapi Tuhan tidak mem-blacklist kami dari data hambanya.

Festival yang cukup meraih, Rava memang lumpuh. Tapi bibir manisnya itu selalu mengeluarkan kata-kata indah. Mampu berbicara dengan lantang tanpa beban. Hanya dia yang selalu bercerita untuk kami. Maklumlah, kelemahannya hanya ada pada kaki. Tapi dia hebat, setahuku. Suara yang indah akan keluar dengan merdu jika bernyanyi dalam keadaan berdiri. Rava justru cukup duduk santai tidak bertingkah, suaranya begitu indah. Seindah wajahnya. Banyak hal yang ingin kuceritakan pada orang-orang disekelilingku. Tapi apa mungkin mereka mau dengan ikhlas bersabar mendengarkan aku berbicaranya? Setiap huruf yang keluar dari mulutku, butuh waktu lima detik untuk terucap. Sulitnya!

Argh, andai saja ketika lahir aku bisa memilih untuk jadi anak normal. Aku akan memilih menjadi anak yang normal. Bukannya aku tidak mensyukuri semua ini. Tapi aku lebih tidak mensyukuri keberadaan kedua orang tuaku. Bolehkah setiap detik aku menagis? Tuhan, begitu tegakah Engkau melihatku menangis?

Aku tidak mengeluhkan semua ini, tapi terpaksa. Aku sudah cukup merasa sakit hati. Aku tidak tuli, aku mampu mendengar. Tapi untuk berbicara cukup sulit bagiku. Untuk menangkap satu pelajaran, sangat sulit bagiku. Butuh berulang kali. Betapa sabarnya Bibi Ati melatihku. Mungkin iya ibuku terlihat begitu abahagia ketika mengandungku. Belum tahu dia kalau aku lahir dalam keadaan autis. Ketika tahu, ini bagaikan suatu kejutan baginya. Terkadang aku bercanda. “Ibu aku mengerjaimu, sorry aku lahir autis. Haha,” semua itu hanya untuk menghibur diriku sendiri.

Diakhir acara, dengan sangat tegang kami menunggu pengumuman festival. “Tuhan memang adil!” kata Reva detik itu, karena kami juara 3, dan aku menjadi ‘Best Player Drummer’ saat itu, karena ini festival besar, banyak wartawan yang datang menghampiriku, beberapa stasiun TV meliput acara ini, karena aku merasa lelah, aku pun membuat janji untuk diwawancarai besok di rumah. Senangnya dikerumuni wartawan. Tapi apa iya mereka mau sabar mendengarkan aku berbicara? Aku yakin mereka sabar, kalau mereka mewawancaraiku dan menulis berita tentangku. Tentu saja mereka dibayar untuk itu.

Keesokan harinya, Ibuku yang merupakan seorang public figure merasa bingung, karena dia berpikir, dia tidak sedang cari sensasi. Wartawan yang mengenal Ibuku sangat heran. Mereka datang kan untuk mencariku, bukan mewawancarai seorang Ibu muda cantik berhati keji. Kuucapkan dihadapan para wartawan dengan sedikit gagap, “aa..ku, aaanaknya..yang berprestaaa..si’!” Entah apa yang ada dipikiran mereka, tapi aku bangga. Aku tidak butuh semua orang tahu aku anaknya. Yang kubutuhkan hanyalah adikku tahu, kalau aku benar-benar kakaknya. Kami lahir dari rahim yang sama. Aku tidak ingin mereka mengakuiku karena telah berprestasi, karena bagiku mereka adalah orang tua yang tidak tahu berterima kasih. Entah berapa milyar mereka bayar dokter persalinan Ibuku detik itu, untuk ikut menutupi kelahirannku dan menyatakan aku telah tiada di hadapan media. Kini biarlah Ibuku semakin terkenal, dengan datangnya diriku mengaku sebagai anaknya. Dengan hal ini pun, wartawan semakin banyak memperoleh berita terbaru yang bisa semakin dikupas dalam-dalam. “Selamat datang Infotaiment, di rumahku yang bergaya classic Eropa ini,” gumanku.

Aku menunggu, saatnya dimana aku akan dimarahi. Jujur, itu adalah hal yang kutunggu. Berharap setelah dimarahi aku akan balik marah kepada mereka. Dan mereka datang membujukku. Layaknya orang tua pada umumnya. Inginnya kurasakan yang kalian rasakan.(Terbit @KekerMagz edisi perdana)

Wednesday, March 14, 2012

Great Interview

Tepatnya pada tanggal 1 Meret 2012. Saat duduk manis di Harian Fajar seraya online sejenak sembari memposting berita dari halaman ke halaman lain, bunda tersayang (reduktur Keker Fajar dan juga entertaint) menegur dan memberi selembar kertas. Yah, kertas itu sepertinya undangan.

So lucky, isinya mengenai wawancara eksclusive bersama A1 dan juga Jeff Timmons. Blue pun di sebut-sebut hadir. Namun sayang, ketika tiba di Aryaduta, Blue tidak hadir. Hanya sempat mewawancara Jeff Timmons dan juga A1 bersama rekan-rekan saya Nusher dan juga Alien.

The greatest hit tour ini membuat mereka mampir di Makassar menghibur para fans mereka.


Saya hanya mampu tersenyum seraya menyambung setiap pertanyaan yang diajukan Nusher dan jawaban yang dilontarkan oleh Jeff Timmons dan A1.

Mereka suka makan bakso sama pangsit. Yah, makanan ini harusnya mendunia.

Interview yang berakhir pukul 11 malam ini memaksaku tiba di rumah tengah malam. No problem, i felt so happy. Mereka tuh narsis, cakep, dan asyik pokoknya.

Sunday, March 4, 2012

Kenali Cinta-Nya

Cinta itu suci.
Tapi coba kita buka mata ini lebih jernih.

Tidak ada yang salah dengan kehidupan kita. Tapi karena cinta, banyak yang jadi gila, rusak, menyesal, dan membuat cinta itu jadi masalah untuk hidupnya.

Apa benar itu cinta kalau efeknya seperti itu?

Tidak semua hal indah itu anugerah. Allah mempertemukan kita dengan jutaan cinta untuk menguji kesabaran kita. Dengan harapan kita menggantungkan segala sesuatunya hanya padaNya, bukan pada cinta yang kita rasa. Banyak orang yang terlalu cepat menilai cinta.

Menganggap itulah yang terakhir bahkan segala-galanya, semua mampu diberi, hingga berujung rasa sakit.

Allah menguji kesabaran kita hingga mempertemukan kita pada cinta yang sebenarnya pantas untuk kita rasa dan miliki. Kita hanya terbawa pada rasa sesaat yang kita anggap indah. Rela melakukan dan memberi apapun dengan cinta yang kita anggap abadi.

Itu semua ujian. Kenali cinta, dengan mencoba mencintai pencipta cinta itu sendiri. Allah tidak mungkin akan memberi kita cinta yang salah nantinya.