Wednesday, March 19, 2014

A Dirty Life

Bukan suatu hal yang baru kalau aku harus dikucilkan karena sikapku. Wajarlah, aku cuma seorang anak kecil yang bodoh. Gilanya, aku mampu melakukan apa pun termasuk membunuh.

Bukan sebuah cerita horor tentangku. Melainkan sebuah hiburan yang mampu merenggut nyawa orang yang menyinggung perasaanku.

Sudah berapa kali harus kukatakan, aku ini bukan cewek bodoh yang lemah, bukan salahku bila ku terus mengancam dan memberimu pukulan maut. Tak perlu ditanyakan mengapa aku begini.

Ayahku seorang mavia, dia selalu saja bertingkah seenaknya. Seakan dia Tuhan, entah ajaran baru apa yang dia terapkan. Gilanya, dia harus tercipta sebagai ayahku. Bodohnya ibuku sempat tidur dengannya.

Trauma sempat hadir dalam diriku saat kulihat ibuku terbujur kaku dihadapanku. Apa salahnya sehingga harus mati dengan cara seperti itu. Ayahku tersenyum lebar melihat hal itu. Saat itu ku masih berusia 4 tahun.

Ketika sang dewa maut mencabut nyawa ibuku, aku menangis. Seketika ayahku menggendongku, ku berlindung di bahunya. Bila saat itu ku sudah bisa membunuh, akan kubunuh ayahku.

Bukannya aku gila, tapi ini semua karena keterbiasaanku melihat kematian, yang disebabkan oleh ayahku sendiri. Agh.. aku bingung, kapan waktu yang tepat untukku membunuhnya.

"Shelli.." Teriakan bodoh sang mavia saat memanggilku, ku belum mau membunuhnya, karena tanpanya ku tidak akan punya uang. Ku hanyalah siswi sekolah swasta yang sudah 3 kali keluar masuk panti rehab. Wajar, mabuk-mabukan itu hobiku, ngedrugs sudah kutekuni selama 4 tahun, tapi sekarang ku bisa lepas dari barang haram itu. "Shelli.. Papa sudah bilang, jangan pernah berlaku kasar lagi," "anjing, kenapa papa melarangku?? Aku juga lebih hebat darimu! Uangmu terlalu banyak untuk membayar pengacara, sehingga aku tidak takut berurusan dengan hukum!" Kataku detik itu saat dia mencoba menjadi seorang ayah yang bijak. Ku hanya mendorong temanku saat di sekolah, dia terus menggangguku. Agh.. Aku tidak suka diganggu. Sempat kutabrak temanku saat pulang dari cafe, untungnya dewa kematian sedang tidur, sehingga dia tidak mencabut nyawa temanku itu. Sudah ku bilang. Aku ini pembunuh!

Bola Mata



Selalu tampak bahagia. Hidupku serasa lengkap bersamanya. Bersama dia yang begitu kucintai. Usiaku memang terbilang muda, aku baru menginjakkan kaki pada jejak tahun ke 24ku di dunia ini. Masih muda namun aku merasa hidupku begitu lengkap.

Mereka yang seumuran denganku, banyak yang belum terikat dalam satu tali amanah tuk menjaga hati selamanya. Namun tidak denganku, aku telah menikah. Menikah dengan keadaan terhormat dengan lelaki yang usianya empat tahun lebih tua dariku. Aku sudah menyandang status sebagai seorang istri. Aku sudah punya tanggung jawab berbeda dari sahabat-sahabatku yang belum menikah.

Rasanya sangat bahagia. Takjub, karena kini kumiliknya seutuhnya. Tak ada batasan, tak perlu takut dengan aturan tuk mendekati bahkan berdekatan dengan lebih bahkan sangat lebih. Tak lagi memikirkan resiko bahkan salahkah apa yang kita lakukan. Bagiku ini indah, lebih dari sekedar keindahan remaja yang telah ku lewati.

Kami telah lama pacaran, yah cukup lama bagiku. Tiga tahun. Waktu tiga tahun itu kuhabiskan dengan bersenda gurau, berbagi tentang sikap, kesukaan, bahkan hobi dan juga angan kami ke depan. Semua yang kami utarakan terwujud. Kami berada dalam satu atap, satu pintu, dan satu ranjang.

Seluruh tamu yang hadir saat resepsi kami tersenyum lebar dan tertawa bahagia, semua turut mendukung. Dia lelaki hangat dan santun yang pernah kutemui. Masa pacaran terindah kudapatkan darinya, dan kini pernikan harus menjadi hal yang jauh lebih indah.

Usia pernikahan yang masih dini ini tentu saja perlu dibangun untuk menjadi rumah tangga yang sempurna. Di bangun dengan kasih sayang dan kesetiaan. Aku mendambakan kehadiran seorang anak, namun mungkin belum saatnya. Lagi pula kami bahagia berdua. Menikmati segalanya berdua, serasa pacaran tahap kedua.

"Sayang baunya harum sekali," kata suamiku, Farlan.
"Ini spesial buat kamu, masakanku gak ada duanya," kataku seraya menggoda.
"Luna-ku sayang, dalam hal apapun kamu spesial. Gak ada duanya," mendekap dan mengecup keningku.

Isi rumah ini serasa damai. Aku yakin untuk menikah dengannya, selain karena kita sudah lama kenal, dia mandiri dan juga mapan. Rumah ini dicicilnya jauh sebelum kami menikah. Syukurlah, hanya butuh setahun lagi rumah ini lunas. Dia penuh dengan persiapan. Dia pernah berkata, membahagiakanku bukan hal mudah, butuh proses panjang, dan dia ingin membahagiakanku dengan total, tanpa ada pikiran untuk menyusahkanku. Dia ingin aku sisa duduk manis dalam dekapannya.

Aku tidak berkata dia kaya raya, aku pun tidak menganggap pernikahan kami ini mewah dan kami pasangan kaya. Setidaknya kami bisa saling berbagi. Yah, dia pun mendukung pekerjaanku. Dia senang melihatku berkarir.

Hari-hariku bersamanya terasa begitu hangat. Entahlah, mungkin sindrom pengantin baru. Aku ingin kami begini terus hingga tua. Merasakan bahagia bersama.

***

"Cieh, sobatku," sapa Dina dengan menggoda.
"Kenapa?"
"Gimana nih sama Farlan? Wah, langgeng yah," urainya bahagia.
"Yah, kamu doakan sajalah. Kamu gimana? Kapan mau nyusul?"
"Nantilah, belum dapat yang pas luar dalam," jawabnya dengan nakal.
"Kamu!"

Dina itu sahabatku sejak SMA. Kami sudah lama bersama, dia pun kenal akrab dengan Farlan. Dia sahabatku yang sangat mendukungku dengan Farlan. Dia pun pernah sedikit menggoda, kalau Farlan memang idaman dan buat hatinya pun tergugah tuk diberi pada Farlan.

Yah, bagiku tidak salah. Postur tubuh yang tinggi, alis mata tebal, tatapan tajam, kulitnya yang tidak putih namun tak juga gelap, pesonanya, kuakui dia menarik. Yah, suamiku. Sempurna.

Tiada yang lain. Mata ini hanya tertuju pada Farlan. Hanya dia seorang, aku terus memikul di pundakku, bahwa aku adalah istrinya. Aku punya kewajiban untuknya. Kewajiban untuk selalu menjaga diriku.
Aku dan Dina kini berada dalam satu atap pula, kantor yang sama. Setiap hari bersama berbagi cerita. Sejak SMA kami sama-sama punya ketertarikan dengan fashion hingga memutuskan untuk bekerja di salah satu majalah fashion ternama di kota ini.

Kami selalu berinovasi bersama untuk menciptakan fashion terbaru. Desain yang kami ciptakan pastinya sesuai karakter masing-masing. Tidak jarang aku dan Dina berkeliling untuk mencari referensi gaya terbaru, mengkritisinya, dan mencari solusi untuk menciptakan yang lebih baik dan nyaman.
Menciptakan suatu gaya tentunya butuh riset. Apa yang kami ciptakan bukan semata-mata untuk kami, tetapi untuk orang lain.

Gaya kami memang oke. Saat SMA hingga kuliah, kami terkadang jadi pusat perhatian ketika berdandan saat ke kampus maupun saat SMA. Lengkap dengan aksesoris keluaran terbaru dan tas kami yang gonta-ganti. Bukan berarti kami selebriti kampus yang hanya numpang nge-hedon di area kampus. Sama sekali tidak seperti itu, tapi kami memang di akui cukup fashionable.

***

Malam ini ku terdiam di atas ranjang. Sesekali aku tersenyum sesekali menunduk. Farlan menghampiriku, memelukku, dan kami berciuman.

Ciuman itu begitu hangat, lidahnya terasa menyelami setiap bagian yang ada dalam mulutku, aku merasakan getaran yang luar biasa. Tangannya membelaiku. Ku seka dirinya.

"Kamu kenapa sayang?" tanyanya padaku.
"Aku mau pandangin wajah kamu. Kamu tiap hari makin indah, makin buatku melayang," kataku.
"Sayang, gimana kerjaannya? Baju yang lagi tren untuk sekarang konsepnya gimana sih?"
"Sekarang tuh yah sayang. Majalahku lagi fokus untuk sasaran anak SMA. Pokoknya remaja, jadi konsepnya lebih feminin dengan warna yang soft," kataku.
"Sukses deh mom. Ngomong-ngomong, lama nih kita gak ke bioskop. Nonton yuk!"
"Dengan senang hati cinta."

***

Tiada hari tanpa kata sayang, tiada hari tanpa cumbuan. Semua berjalan begitu indah. Semua kami lewati dengan tawa bahagia. Cinta ini terasa makin besar.

"Tuhan, terima kasih Kau telah kirimkan Farlan untukku."

Laptop dihadapanku terus menyala. Namun ku hanya diam. Khayalan tentang bentuk dan warna sudah tergambar. Namun tak sedikit pun tertoreh di laptop maupun secarik kertas dihadapanku.
Aku merasa membutuhkan Dina. Dia selalu bisa membantuku di saat terjepit tanpa inspirasi dan ide cemerlang. Dia sahabatku yang kreatif. Selalu mampu membantuku. Punya banyak ide dan cara tuk bertahan, bahkan sangat cerdas.

Dia cantik. Senyumnya ramah. Aku menilainya sebagai perempuan manis nan cantik yang terkesan imut.

Aku menang dibentuk tubuh. Aku tinggi, rambutku hitam tergerai panjang dan lembut. Kulitku kuning langsat, mataku sedikit sipit, bibirku tipis, selebihnya biasa saja. Namun banyak yang bilang kalau aku cantik, dan Dina manis.

Dina memang tidak tinggi sepertiku. Tapi dia menarik. Sahabatku.

Kuraih ponsel di dalam tas. Cukup menekan tombol panggilan keluar. Hanya ada tiga nama disana yang selalu menjadi peringkat teratas. Farlan, Mama, dan juga Dina. Dengan segera kuhubungi Dina. Yah, seperti dugaanku. Dia sangat cepat mengangkat telpon. Dia menyuruhku untuk menunggu. Tidak lama lagi dia akan tiba di kantor. Dina sedang berada di optik. Tentunya untuk membeli soft-lense.

Soft-lense memang selalu menghiasi kedua bola matanya. Kerap kali Dina berganti-ganti warna soft-lense. Coklat, abu-abu, hijau, dan juga ungu. Entahlah, sekarang Dina akan membeli warna apa. Apapun itu pastinya sangat cocok dengannya. Warna apapun pas untuknya. Tak lama Dina pun datang. Dengan high-heels pink lembut dia melangkah.

"Kenapa Lun?"
"Bingung nih soal konsepnya, beberapa baju sudah kupasang-pasangkan. Yah, dimatching-matchingin lah untuk pemotretan model nanti. Tapi selebihnya bingung," keluhku.
"Tinggalin aja, nanti biar aku yang kerjain. Kamu pasti capek mikir. Mending istirahat deh,"

Itulah Dina. Rasanya tenang punya sahabat sepertinya. Aku pun beranjak dari kursi. Dina menggantikan posisiku. Dia duduk. Mengibaskan rambut, dan membuka matanya dengan lebar menatap laptop. Spontan.

"Biru yah Din?"
"Hah? Kenapa Lun?"
"Mata kamu?"
"Oh, iya nih. Sekarang pakai warna biru. Keren kan?"
"Iya, birunya bagus. Terang. Pas buat kamu,"
"Biar gelap, mata aku tetap jelas kelihatan. Jadi, kalau kamu nyari aku gelap-gelap. Pasti bakal ketemu kalau aku melek," katanya berusaha ngelawak.
"Kamu, ada-ada aja!"
"Haha, glow in the dark!"

***

Dina kutinggalkan sendiri. Kukatakan padanya aku berjanji pada Farlan tuk cepat pulang. Yah, aku sangat rindu ingin segera pulang. Aku mau jadi yang pertama tiba di rumah. Menyambut kedatangan Farlan dengan senyumanku. Berharap bisa mengobati rasa lelah Farlan.

Jemariku menyentuh gagang pintu. Saat pintu terbuka, sontak aku hampir terjatuh. Farlan mengagetkanku lalu meraih tangan dan tubuhku yang nyaris menyentuh tanah.

"Sayang, hati-hati," katanya.
"Kamu sudah di rumah duluan?"
"Hehe, iya sayang. Tadi pulang cepat. Tahu gak buat apa?"
"Apa coba?"
"Masak buat kamu," jawabnya.

Bibirku merekah tersenyum lebar. Bahagianya, bagiku ini adalah kado. Perasaan ini tak mampu kugambarkan. Aku langsung memeluknya. Ku pikir dia akan marah karena tiba lebih dulu di rumah sebelum aku.

Namun, sama sekali gak ada alasan untuk dia memarahiku. Sebab, aku sudah pulang lebih awal sesuai perjanjian istri setia baginya. Dia pun mendukung kerjaanku, kalau aku lelah dia akan menyuruhku beristirahat dan tidak bekerja. Bila aku harus pulang larut, dia bersedia menjemputku bahkan menemaniku bekerja. Begitupun sebaliknya. Dunia masih milik kita berdua.

"I love you Farlan," kataku.

Senyumnya begitu lembut. Dia menuntunku ke meja makan. Sama sekali tak terbayangkan. Hidangan telah tertata rapi, namun dapur terlihat cukup berantakan. Aku yakin itu karena ulahnya. Mencoba menuangkan ide masakan hingga membuat dapur terlihat tak terurus. Tapi aku suka upayanya. Aku sayang padanya. Padanya yang menaruh bunga di atas ranjang dan senantiasa mengecupku.

Dia memintaku untuk duduk, dia mengambil tas dari tanganku. Farlan meletakkan ta situ di atas sofa. Dia menunduk dan membuka sepatuku, sepertinya dia berencana pulang lebih awal untuk melayaniku, memperlakukanku layaknya Ratu. Dia membantuku membuka jas yang ku kenakan. Dia menyuruhku mencuci tangan dan menarik kursi lalu mempersilahkanku duduk. Manis sekali pernikahan ini.

***

Efek bahagia setelah mencicipi masakan Farlan kemarin. Aku datang ke kantor sambil senyum-senyum sendiri, tidak peduli dengan pandangan sekitar yang akan menganggapku orang gila. Mereka tidak merasakan apa yang kurasa.

Saat langkahku tiba dihadapan laptopku di kantor, Dina sudah duduk manis di sana. Lalu dia berbalik saat melihat aku datang, dia tersenyum lalu memamerkan apa yang sudah dia kerjakan. Aku tidak percaya, semua kerjaanku di selesaikan olehnya. Sahabat yang sangat membantu dan mengerti diriku.
Sepertinya hari ini aku akan lembur, karena besok adalah jadwalku presentasi.

Satu lagi, karena Dina sudah membantuku, hari ini dia harus pulang lebih awal, aku akan menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Dia butuh istirahat. Tidak hanya itu, mempersiapkan presentasi besok itu tidak mudah, haruslah sempurna.

Aku mulai menyuruh Dina pindah dari tempatku, aku pun mengucapkan banyak terima kasih padanya.

“Dina, hari ini kamu pulang lebih awal saja. Kamu butuh istirahat ekstra. Biar semuanya saya yang kerjakan sama teman-teman lain,” kataku.
“Lun, gak masalah kalau aku tetap di kantor temani kamu,” katanya dengan begitu baik.

Aku terus membujuknya agar dia pulang lebih awal. Aku tidak enak kalau harus menahannya lagi di kantor dengan begitu lama. Kini giliranku untuk menyelesaikan tanggung jawabku.

Detik demi detik kulewati di kantor bersama teman-temanku yang lain. Satu per satu pekerjaan kuselesaikan. Jas abu-abu yang tadi kukenakan, kini telah kuletakkan rapi di balik kursiku. Lengan tanganku semakin kugulung ke atas mendekati siku. Hal ini kulakukan karena aku merasa semakin gerah mempersiapkan presentasi.

Waktu menunjukkan pukul 23.00, hamper mendekati tengah malam. Aku harus semakin lincah dalam menyelesaikan pekerjaan ini, tidak boleh membuat suami menunggu terlalu lama di rumah walaupun dia begitu mengerti dengan pekerjaanku ini dan telah mengizinkanku pulang larut malam.

Kali ini dia tidak menjemputku. Sudah kukatakan padanya untuk menungguku saja di rumah. Aku tidak ingin membuatnya ikut-ikutan sibuk di tengah kesibukanku, karena dia pun perlu istirahat. Tadi dia membujukku agar aku mau dijemput, namun aku balik membujuk agar dia istirahat. Ku katakan padanya bahwa aku akan pulang sekitar jam 02.00 malam. Tapi keadaan berkata lain, sekarang baru 23.30, pekerjaanku sudah selesai. Dia pasti sedang melihatku tiba lebih awal dari yang kukatakan.

***

Tanpa perlu menghitung hingga ratusan detik, aku sudah tiba di rumah. Entah mengapa keadaan rumah kali ini begitu mistis. Mungkin karena sudah larut. Hanya lampu teras depan yang menyala. Begitu gagang pintu ku pegang, anehnya Farlan tidak mengunci pintu, entah dia lupa atau sengaja agar aku tidak perlu membangunkannya untuk sekedar membukakanku pintu.

Ada satu sepatu yang begitu kukenali di depan sofa ruang tamu, anehnya sepatu ini tidak rapi terletak di rak. Mengapa harus berada di ruang tamu, parahnya itu bukan sepatuku namun begitu kukenali. Hak tipis menghiasi bagian belakang sepatu tersebut.

Kulangkahkan kakiku tepat menuju kamar tidur. Satu hal pasti yang kulihat dari luar, Farlan tidak sendiri dalam kamar. Aku tidak mau menyalakan lampu. Aku tidak mau mengetahui siapa yang menemaninya, bagiku itu sangat sakit. Seperti melukai diri sendiri, menyobek hati sendiri. Lebih baik aku masuk perlahan dan tidak membangunkan mereka.

Rasa tidak percaya menggeluti diriku, rasa marah, ingin menangis, namun di sisi lain, tentang apa semua ini? Apa ini? Mengapa harus seprti ini? Di tengah kuselalu membanggakan dan menyanjungmu dalam setiap paragraf hidup dan hari-hariku.

Kusentuh lengan Farlan, ku tarik tuk benar-benar memastikan bahwa itu dirinya. Yah, tepat sekali, aku tidak salah, dari awal kukatakan ini Farlan dan dia tidak sendiri. Anehnya, begitu Farlan kutarik, perempuan itu lebih dulu terbangun dan terkejut langsung melihat ke arahku. Satu yang pasti. Bola matanya, “BIRU!!”