Tuesday, June 3, 2014

Orang Sakit

Kamu hadir biasa saja. Tanpa menyimak alur cerita.
Kamu tokoh baru dalam sebuah puisi penuh luka.
LUKA DALAM.

Kamu ketawa saja dihadapanku, kamu berusaha memuji dan mendekat.
Tanpa tahu orang yang kau dekati ini adalah orang sakit.
Orang yang pernah jatuh menghadap ke tanah dan tidak lagi mau tersenyum hangat pada lawan jenis. Kecuali sekedar merayu.
Tidak mau serius dan benci serius.
Tak lagi berpikir untuk menjadi seorang perempuan milik laki-laki.
Hanya mau bermain.

Orang sakit ini sempat menyukai seseorang diujung pulau tanpa sadar kalau kamu sudah ada lebih dulu.

Ujung-ujungnya ke kamu. Dia di ujung pulau hanya membuatkan bahagia satu bulan. Setidaknya, orang sakit ini mulai terobati. Namun dia tak merasa itu spesial.

Hingga kamu yang membuat orang sakit ini spesial hanya karena kamu suka dengan orang sakit ini.
Kamu menilai positif orang sakit ini.
Kamu memuji bahkan berani mendekati orang sakit ini.

Sampai kau tahu dia sakit karena apa, kau tetap ada.

Doa Siang Hari

Menyamar jadi orang lain, bermain bersama ribuan kata hingga jenuh tak menentu. Aku tahu aku salah. Hanya memberikan petunjuk tanpa hendak turut bermain. Tapi aku sudah bermain!! Pada bintang yang menggoreskan luka pada setiap pelukan. Hendaknya aku pergi saja dan menangis di atas bantal tanpa diketahui makhluk lain.

Iya, dia memang begitu, sering membuatku menangis. Sering marah padaku, sering membentak, dan tak tahu salahku dimana. Mereka bilang aku berubah, dan dia membunuh karakterku dengan sikapnya. Dia hanya mampu mencaci tindakanku. Sikapku pun salah. Bukankah ini biasa? Sikapnya lebih parah, membentak hingga merobek dan akhirnya aku berlari dengan darah dari kedua belah bibirku. Aku masih ingat saat terjatuh tepat di hadapannya dengan kakinya. Dijatuhkan dengan kakinya. Diinjak bukan terinjak.

Aku hanya menangis lalu memeluk. Ini hanya persoalan pesan yang berbeda cara tangkapnya. Aku sudah minta maaf. Setiap hari aku datang, menunggunya bangun, dan saat dia bangun, dia marah padaku, lalu tidur lagi.

Begitu setiap hari. Hingga akhirnya aku sibuk. Aku punya urusan mendadak. Tepat siang itu, aku terus berdoa. Agar aku baik-baik saja saat dia datang atau aku mendatanginya. Dia katakan padaku Tuhan tidak menolongku saat dia memukulku. Itu salah. Tuhan menolongku dengan keras, tidak lagi dengan cara halus. Bila Tuhan menegurku dengan halus, aku akan bertahan di sampingnya. Tapi Tuhan membentakku agar aku tidak terus menerus sakit.

Dokter itu membujukku untuk curhat, tanpa berkata aku menangis.
Dokter itu bilang.

"Kasihan kamu, kasihan badanmu, kamu cantik!"

Detik itu, aku merasa tidak cantik lagi.

Sederhana Sekali

Sederhana Sekali

Selalu saja kita membayangkan tentang bunga yang berwarna cerah dan bermekaran disekitar kita. Dengan aromanya yang lembut dan menenangkan. Bukankah berlebihan?

Terkadang kita meminta hujan untuk membasahi tanah yang kita injak, namun bukan hujan biasa, namun hujan dengan pelangi yang tidak terlalu deras. Bukankah berlebihan?

Rasanya seperti tidak tahu diri ketika membayangkan dan meminta hal yang mungkin saja tidak pantas hadir untuk kita detik itu, lalu memaksakan rumput untuk menumbuhkan bunga, dan memaksakan awan untuk saling berbenturan agar hujan turun.

Tidak, tidak lagi.

Harusnya kita sabar menanti yang kita mau. Bunga tidak bisa mekar dalam hitungan detik, wanginya pun tidak langsung terasa dalam kedipan mata. Begitu pula dengan hujan, ada di musim tertentu, lokasi tertentu, dan butuh proses.

Mereka memintanya, akupun demikian. Kita mungkin memintanya. Kita tidak sadar akan mentari yang juga menyinari dengan indah. Kita tidak sadar bahwa aroma rumput pedesaan pun menenangkan. Mengapa meminta yang ada tapi belum waktunya?

Indah bukan, saat kita menjalani proses menuju yang kita mau. Jujurlah, kau tetap tersenyum, setidaknya kau tersenyum. Lalu buat apa kau meminta hal yang membuatmu tertawa hingga menitihkan air mata yang tak jelas tetesannya?

Berlebihan.

Sederhana sekali.

Saat kau mau mencoba jadi bagian dari mimpinya. Cobalah dulu, mungkin kau memang telah hadir di mimpinya. Tapi apakah kau mencoba memimpikannya?

Begitu egois ketika terus meminta dan berharap lebih dari apa yang ada sekarang. Lihatlah, ada kelebihan yang kau tak nilai.

Misalkan, senyuman, sapaan, candaan, dan langkahnya untuk menuju tepat dihadapanmu hingga berjalan disampingmu.

Bahagia sekali, sederna sekali.

Mungkin sangat sederhana, genggaman pun tidak ada, apalagi pandangan berarti. Kami hanya melangkah bersama, tidak mau tahu terlalu jauh. Namun kami tersenyum saat bersama maupun tidak.