Kali ini beralih ke tingkat SMA. Apa yang seru di tingkat SMA?
Banyak banget kan? Hal yang paling sulit dilupakan, mulai berpikir tentang masa depan, banyak godaan persoalan cinta. Hihihi
SMP juga sih banyak hal lucu soal percintaan organisasi. Haha pengalaman.
Di SMA saya jauh lebih waras, tidak seperti SMP yang nakal bingitz. Pernah bolos juga sih, tapi makin logis alasannya.
1. Tidak suka sama pelajarannya
2. Ngantuk
3, Berlama-lama solat duhur
SMA juga makin sibuk dengan organisasi dan akhirnya belajar untuk lebih bertanggung jawab.
Di SMA, sosok guru banyak sekali. Hampir semuanya baik, hampir semuanya ngajar. Saya suka sekali. Teman-temannya pun pinter-pinter makin menantang untuk belajar. Tapi kok kita tetap saling contek mencontek yah?
1. Kami tidak menyontek di semua bidang pelajaran, hanya yang kami tidak paham atau bukan diri kami.
2. Kami menyontek karena takut tidak mencapai nilai standar kelulusan
3. Kami menyontek karena kami solid! Haha
Terakhir kali saya tidak menyontek hanya saat SD, pendidikan moral yang saya dapatkan di SD itu luar biasa, organisasi saat SD pun yang mengubah makhluk penjijik ini menjadi jorok! Tidak takut kotor dan mulai mudah berbaur.
Hanya saja itu tidak bertahan lama, godaan menyontek luar biasa saat SMP. Kadang saya berpikir, memangnya belajar susah yah? Teman SMP saya ada yang menyontek dalam segala hal. Saya bingung, mau jadi apa? Kalau tidak di kasi contekan sudahlah kita dimusuhi, dibuli, dianggap sok pintar, pelit, dan lain sebagainya.
Menyontek dihalalkan sesama teman, sebagai tolak ukur berbagi. Hasilnya apa? Sama-sama sukses. Haha
Hanya saja, walaupun persoalan PR pun kita menyontek. Berarti kita dirumah memang tidak mengerjakan PR!
Eitss, tunggu dulu, saya hanya menyontek PR Fisika (selalu), Kimia (kadang), dan Matematika (Kadang). Oke FIX!!
Sistem seperti memaksa, tidak mengenali potensi kita. Mau jadi apa sih sebenanrnya kita? Mereka yang menonjol di olahraga dianggap bodoh di kelas, yang menonjol di kelas dianggap bodoh olahraga, dan yang sibuk organisasi dianggap hanya pintar ngomong. Iyakah?
Ada juga yang bisa balance.
Anggapan itu sebenanrnya potensi.
Ada pula istilah begini
"Anak IPS itu nakal!"
Jurusan di SMA di bagi dua, ada IPA dan IPS. Anak IPA adalah anak-anak pintar yang baik. Taik!
Saya anak IPA, main kartu setiap di kelas, pernah bolos, ada teman yang hobinya pacaran terus di sekolah, anak IPA!!
Tidak ada hubungannya sama jurusan, bukankah jurusan itu diciptakan untuk memfokuskan kita akan tujuan dan potensi. Saya memilih IPS. Tapi orang tua menyarankan IPA, dengan alasan lebih universal dan high class. Entah apa patokannya. Padahal beberapa sekolah di Makassar ada juga yang menonjol di IPS.
Terbukti, guru IPS jarang masuk, kalau anak IPA nakal dibanding-bandingkan dengan anak IPS.
Mungkin itu hanya potret di sekolah saya. Masalah besarnya adalah, perlakuan guru yang tidak adil dan tidak sadar potensi. Yang nakal semakin dinakalkan, yang pintar makin pintar. Belum lagi persoalan anak guru nomor satu di sekolah.
Beberapa teman ada sih, anak guru tapi woles, ada juga yang kaku -_-" Kenapa ki fren?
SMA adalah masa gejolak, masa transisi. Mau maju atau mundur, mau gagal atau keren!
Gang makin marak, aksesoris makin oke, style ke sekolah dipaksakan menjadi ciri khas ata identitas seseorang. Padahal ini hanya sekolah lho! *baru sadar setelah kini S1*
SMA jadi ajang keren-kerenan, organisasi pun makin dihargai, makin mandiri, berani dan heboh soal pacar-pacaran. Mulai dari teman yang soleha dan juga solimin *mendzalimi diri sendiri dengan cumbuan maut sang kekasih*
Sekarang kalau diingat, begok yah! Toh masih SMA ko..
Hal itu hanya dipahami beberapa guru, ada guru yang coba membimbing dan mengajar sesuai dengan psikologi anak SMA, ada juga yang menganggap kita mahasiswa yang dilepas kayak anak ayam, mau belajar silahkan tidak juga gak masalah, toh gurunya tetap di gaji.
Saat SMA, saya tidak begitu bermusuhan dengan Fisika, tapi ada musuh baru, namanya KIMIA. Entahlah, barang ini mengerikan. Sekali lagi, "Saya tidak butuh rumus ION untuk meraih cita-cita!"
Hanya saja kali ini berbeda, gurunya mengajar di kelas, dengan sabar mengajarkan. Hanya saja kalau ulangan masih saja menyontek. Kenapa?
Karena Soalnya beda mi dengan yang dipelajari di kelas -_-"
Saat masih dikelas, wuih jago. Pas sampai di rumah, tidak bisa menyelesaikan soal fisika atau kimia sendirian. Kenapa yah?
Sampai sekarang saya masih belum bisa jawab. Sudah ikut les sama Ibu Rina yang sabar menghadapi saya walaupun hampir membuat saya dan teman saya Wanty tinggal kelas karena KIMIA tetap membuat saya tidak bisa mengerjakan soal ini sendirian.
Itu yang membuat ulangan itu wajib hukumnya Menyontek!
Praktek menyontek tingkat SMA pun jauh lebih berkelas. Makin keren, luar biasaaaaaaaa!
Pada saat kelas 3, godaan yang ada bukan cuma Joki UN, tapi juga SNMPTN.
*untung saya bebas tes :p tidak harus SNMPTN
Ujian Nasional pun jadi ajang lucu-lucuan, belajar yang kau kuasai, cek kertas kunci jawaban untuk yang tidak kau kuasai.
Hal yang paling lucu adalah, guru yang setengah mati mengajar akhirnya hanya berpikir tentang rating sekolah, kalau banyak yang tidak lulus kan malu. Mending dikasi kunci jawaban saja, supaya banyak yang lulus.
Tapi parahnya, teman-teman justru banyak yang tidak lulus di Bahasa Indonesia.
Bahasa ibu kita ini memang mengecoh, sumpah demi Allah, soalnya ngaco sekali, kayaki lagi ulang tahun semua pas ujian nasional, dia kerjaiki memang ini barang. Tidak tahu apa maunya!
Jawabannya hampir sama semua, belum lagi ada soal pendapat. Katanya pendapat, tapi pendapat kita harus sesuai dengan kunci jawabannya. Tololnya bukan main, katanya pendapat tidak pernah salah? Toh kan pendapatku yang ko tanya, tapi kenapa harus disesuaikan dengan pendapatmu?
Ujian Nasional ini untuk apa?
Lahan bisnis joki dan makin membuat kita tidak jujur. Hal yang disesalkan adalah, upaya kita selama sekolah tidak dinilai, UN menjadi patokan segalanya.
Di bawah ini saya kutip dari tolakujiannasional.com
Republik ini dibangun oleh orang-orang berani dan peduli
Siapa Soekarno Hatta? Apakah orang yang dirugikan oleh sistem penjajahan? Tidak! Mereka menikmati buah manis pendidikan Belanda
Siapa Tan Malaka & Ki Hadjar Dewantara? Apakah orang yang disingkirkan oleh sistem penjajahan? Tidak! Mereka dibesarkan oleh pendidikan Belanda
Tapi mengapa mereka tidak menikmati saja kemapanan pada jamannya? Tapi mengapa mereka tidak memilih hidup mewah menikmati manisnya hidup?
---
Tersebutlah teman kita, Nurmillaty Abadiah, sekian waktu memendam keresahan melihat praktek joki yang sistematis. Keresahan itu pecah ketika menemui kualitas soal Ujian Nasional yang tidak tepat, diluar materi belajarnya. Ia pun menulis Surat Terbuka Untuk Bapak Menteri Pendidikan.
Apa jawaban Menteri Pendidikan? “Mustahil surat itu ditulis oleh pelajar SMA”. Bukannya menanggapi pesan penting dalam surat tersebut, Pak Menteri justru meragukannya! Tidak percaya pada produk sistem pendidikan yang dipimpinnya sendiri.
Apakah benar tuduhan Pak Menteri? Sama sekali keliru! Nurmillaty Abadiah adalah pelajar SMA Khadijah Surabaya dan benar dialah yang menulis surat terbuka itu.
Siapa Nurmillaty Abadiah? Apakah dia seorang pelajar yang malas belajar? Apakah dia seorang pelajar yang suka mengeluh? Apakah dia seorang pelajar yang bodoh?
Tidak! Ia bukan pelajar yang malas belajar, justru pelajar yang berprestasi. Ia bukan menuangkan keluhan di surat terbukanya, tapi gugatan yang menghujam pada sistem penilaian bernama Ujian Nasional. Bodoh? Ia adalah anggota tim Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan peraih medali perak di tingkat internasional.
---
Balik ke saya lagi, hehe
Pantas tidak sih kita lulus UN kalau jujur?
Banyak banget kan? Hal yang paling sulit dilupakan, mulai berpikir tentang masa depan, banyak godaan persoalan cinta. Hihihi
SMP juga sih banyak hal lucu soal percintaan organisasi. Haha pengalaman.
Di SMA saya jauh lebih waras, tidak seperti SMP yang nakal bingitz. Pernah bolos juga sih, tapi makin logis alasannya.
1. Tidak suka sama pelajarannya
2. Ngantuk
3, Berlama-lama solat duhur
SMA juga makin sibuk dengan organisasi dan akhirnya belajar untuk lebih bertanggung jawab.
Di SMA, sosok guru banyak sekali. Hampir semuanya baik, hampir semuanya ngajar. Saya suka sekali. Teman-temannya pun pinter-pinter makin menantang untuk belajar. Tapi kok kita tetap saling contek mencontek yah?
1. Kami tidak menyontek di semua bidang pelajaran, hanya yang kami tidak paham atau bukan diri kami.
2. Kami menyontek karena takut tidak mencapai nilai standar kelulusan
3. Kami menyontek karena kami solid! Haha
Terakhir kali saya tidak menyontek hanya saat SD, pendidikan moral yang saya dapatkan di SD itu luar biasa, organisasi saat SD pun yang mengubah makhluk penjijik ini menjadi jorok! Tidak takut kotor dan mulai mudah berbaur.
Hanya saja itu tidak bertahan lama, godaan menyontek luar biasa saat SMP. Kadang saya berpikir, memangnya belajar susah yah? Teman SMP saya ada yang menyontek dalam segala hal. Saya bingung, mau jadi apa? Kalau tidak di kasi contekan sudahlah kita dimusuhi, dibuli, dianggap sok pintar, pelit, dan lain sebagainya.
Menyontek dihalalkan sesama teman, sebagai tolak ukur berbagi. Hasilnya apa? Sama-sama sukses. Haha
Hanya saja, walaupun persoalan PR pun kita menyontek. Berarti kita dirumah memang tidak mengerjakan PR!
Eitss, tunggu dulu, saya hanya menyontek PR Fisika (selalu), Kimia (kadang), dan Matematika (Kadang). Oke FIX!!
Sistem seperti memaksa, tidak mengenali potensi kita. Mau jadi apa sih sebenanrnya kita? Mereka yang menonjol di olahraga dianggap bodoh di kelas, yang menonjol di kelas dianggap bodoh olahraga, dan yang sibuk organisasi dianggap hanya pintar ngomong. Iyakah?
Ada juga yang bisa balance.
Anggapan itu sebenanrnya potensi.
Ada pula istilah begini
"Anak IPS itu nakal!"
Jurusan di SMA di bagi dua, ada IPA dan IPS. Anak IPA adalah anak-anak pintar yang baik. Taik!
Saya anak IPA, main kartu setiap di kelas, pernah bolos, ada teman yang hobinya pacaran terus di sekolah, anak IPA!!
Tidak ada hubungannya sama jurusan, bukankah jurusan itu diciptakan untuk memfokuskan kita akan tujuan dan potensi. Saya memilih IPS. Tapi orang tua menyarankan IPA, dengan alasan lebih universal dan high class. Entah apa patokannya. Padahal beberapa sekolah di Makassar ada juga yang menonjol di IPS.
Terbukti, guru IPS jarang masuk, kalau anak IPA nakal dibanding-bandingkan dengan anak IPS.
Mungkin itu hanya potret di sekolah saya. Masalah besarnya adalah, perlakuan guru yang tidak adil dan tidak sadar potensi. Yang nakal semakin dinakalkan, yang pintar makin pintar. Belum lagi persoalan anak guru nomor satu di sekolah.
Beberapa teman ada sih, anak guru tapi woles, ada juga yang kaku -_-" Kenapa ki fren?
SMA adalah masa gejolak, masa transisi. Mau maju atau mundur, mau gagal atau keren!
Gang makin marak, aksesoris makin oke, style ke sekolah dipaksakan menjadi ciri khas ata identitas seseorang. Padahal ini hanya sekolah lho! *baru sadar setelah kini S1*
SMA jadi ajang keren-kerenan, organisasi pun makin dihargai, makin mandiri, berani dan heboh soal pacar-pacaran. Mulai dari teman yang soleha dan juga solimin *mendzalimi diri sendiri dengan cumbuan maut sang kekasih*
Sekarang kalau diingat, begok yah! Toh masih SMA ko..
Hal itu hanya dipahami beberapa guru, ada guru yang coba membimbing dan mengajar sesuai dengan psikologi anak SMA, ada juga yang menganggap kita mahasiswa yang dilepas kayak anak ayam, mau belajar silahkan tidak juga gak masalah, toh gurunya tetap di gaji.
Saat SMA, saya tidak begitu bermusuhan dengan Fisika, tapi ada musuh baru, namanya KIMIA. Entahlah, barang ini mengerikan. Sekali lagi, "Saya tidak butuh rumus ION untuk meraih cita-cita!"
Hanya saja kali ini berbeda, gurunya mengajar di kelas, dengan sabar mengajarkan. Hanya saja kalau ulangan masih saja menyontek. Kenapa?
Karena Soalnya beda mi dengan yang dipelajari di kelas -_-"
Saat masih dikelas, wuih jago. Pas sampai di rumah, tidak bisa menyelesaikan soal fisika atau kimia sendirian. Kenapa yah?
Sampai sekarang saya masih belum bisa jawab. Sudah ikut les sama Ibu Rina yang sabar menghadapi saya walaupun hampir membuat saya dan teman saya Wanty tinggal kelas karena KIMIA tetap membuat saya tidak bisa mengerjakan soal ini sendirian.
Itu yang membuat ulangan itu wajib hukumnya Menyontek!
Praktek menyontek tingkat SMA pun jauh lebih berkelas. Makin keren, luar biasaaaaaaaa!
Pada saat kelas 3, godaan yang ada bukan cuma Joki UN, tapi juga SNMPTN.
*untung saya bebas tes :p tidak harus SNMPTN
Ujian Nasional pun jadi ajang lucu-lucuan, belajar yang kau kuasai, cek kertas kunci jawaban untuk yang tidak kau kuasai.
Hal yang paling lucu adalah, guru yang setengah mati mengajar akhirnya hanya berpikir tentang rating sekolah, kalau banyak yang tidak lulus kan malu. Mending dikasi kunci jawaban saja, supaya banyak yang lulus.
Tapi parahnya, teman-teman justru banyak yang tidak lulus di Bahasa Indonesia.
Bahasa ibu kita ini memang mengecoh, sumpah demi Allah, soalnya ngaco sekali, kayaki lagi ulang tahun semua pas ujian nasional, dia kerjaiki memang ini barang. Tidak tahu apa maunya!
Jawabannya hampir sama semua, belum lagi ada soal pendapat. Katanya pendapat, tapi pendapat kita harus sesuai dengan kunci jawabannya. Tololnya bukan main, katanya pendapat tidak pernah salah? Toh kan pendapatku yang ko tanya, tapi kenapa harus disesuaikan dengan pendapatmu?
Ujian Nasional ini untuk apa?
Lahan bisnis joki dan makin membuat kita tidak jujur. Hal yang disesalkan adalah, upaya kita selama sekolah tidak dinilai, UN menjadi patokan segalanya.
Di bawah ini saya kutip dari tolakujiannasional.com
Republik ini dibangun oleh orang-orang berani dan peduli
Siapa Soekarno Hatta? Apakah orang yang dirugikan oleh sistem penjajahan? Tidak! Mereka menikmati buah manis pendidikan Belanda
Siapa Tan Malaka & Ki Hadjar Dewantara? Apakah orang yang disingkirkan oleh sistem penjajahan? Tidak! Mereka dibesarkan oleh pendidikan Belanda
Tapi mengapa mereka tidak menikmati saja kemapanan pada jamannya? Tapi mengapa mereka tidak memilih hidup mewah menikmati manisnya hidup?
---
Tersebutlah teman kita, Nurmillaty Abadiah, sekian waktu memendam keresahan melihat praktek joki yang sistematis. Keresahan itu pecah ketika menemui kualitas soal Ujian Nasional yang tidak tepat, diluar materi belajarnya. Ia pun menulis Surat Terbuka Untuk Bapak Menteri Pendidikan.
Apa jawaban Menteri Pendidikan? “Mustahil surat itu ditulis oleh pelajar SMA”. Bukannya menanggapi pesan penting dalam surat tersebut, Pak Menteri justru meragukannya! Tidak percaya pada produk sistem pendidikan yang dipimpinnya sendiri.
Apakah benar tuduhan Pak Menteri? Sama sekali keliru! Nurmillaty Abadiah adalah pelajar SMA Khadijah Surabaya dan benar dialah yang menulis surat terbuka itu.
Siapa Nurmillaty Abadiah? Apakah dia seorang pelajar yang malas belajar? Apakah dia seorang pelajar yang suka mengeluh? Apakah dia seorang pelajar yang bodoh?
Tidak! Ia bukan pelajar yang malas belajar, justru pelajar yang berprestasi. Ia bukan menuangkan keluhan di surat terbukanya, tapi gugatan yang menghujam pada sistem penilaian bernama Ujian Nasional. Bodoh? Ia adalah anggota tim Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan peraih medali perak di tingkat internasional.
---
Balik ke saya lagi, hehe
Pantas tidak sih kita lulus UN kalau jujur?