Nyawa, apa kabar kamu?
Marah rasanya ketika aku tahu kau baik-baik saja
Jiwa ini mengalun manis saat terakhir kali wadahnya hancur
Jiwa ini tidak berbicara lagi tentang tawa bahagia
Oh ya, kepala ini seperti mengalami benturan besar
Memaksa lupa akan nyawa yang menggores jiwa
Cabut saja lantas itu akan jadi solusi
Kuburkan saja agar nyawa tak lagi tersiksa
Bukankah nyawa membenarkan darah ini menetes karena nyawa selalu benar?
Jiwa akhirnya rapuh dan kembali dalam kertas kosong
Tapi saat di balik, kertas ini penuh coretan
Pantas saja jiwa ini memberontak keras seakan ingin keluar dari wadahnya
Pantas saja jiwa ini kacau akan pikiran matang tentang pertumpahan darah
Akan kuraih sehelai rambutmu, hanya untuk memastikan kau bernyawa
Bukankah kabar gembira bagiku bila kau bernyawa?
Agar wadah ini bisa kembali berdarah tepat di hadapanmu
Senangnya jiwa ini ketika tahu kakimu tak lagi suci
Kakimu yang tidak suci itu berbau setan
Apakah kau tidak sadar kita sedang bermain dengan roh-roh pemangsa?
Semestinya kau diam saja saat api mulai membakar hatimu
Semestinya kau hempaskan tubuhmu ke tanah kubur itu
Nyawa, kau begitu bodoh
Mengedepankan nafsumu di atas segalanya
Jiwa akhirnya terbang menembus masa lalu
Menabrak dinding emosi yang telah lama ia bangun, ia pendam, ia remehkan
Seandainya membunuh itu bukanlah dosa
Ku pastikan nyawamu sebagai saksi pertumpahan darah pertamaku.
Sunday, December 7, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.