Indonesia merupakan negara kepulauan. Negara yang memiliki lautan yang sangat luas dan juga kaya akan sumber daya alam. Pesona alam yang disajikan oleh Indonesia pun sangat menawan. Salah satunya pulau terluar di utara Indonesia, yakni Pulau Miangas. Pulau perbatasan Indonesia-Filipina ini terletak di dalam wilayah kecamatan Khusus Miangas, kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Pulau Miangas memiliki legenda yang sangat terkenal.
Legenda tentang peradaban Pulau Miangas. Berawal dari seorang perempuan asal Sulawesi Tengah yang berlabu ke Filipina dan menikah dengan salah seorang pemuda Filipina. Mereka tinggal di Gunung Kulamah, Filipina. Dari atas gunung tersebut, mereka melihat Pulau Miangas ini layaknya kapal. Mereka pun memutuskan untuk berlabu ke Pulau Miangas dengan menaiki seekor ikan hiu. Saat tiba di sana, pulau itu masih kosong. Mereka pun memutuskan untuk tinggal sejenak di Pulau Miangas. Tidak lama, beberapa orang dari Nanusa yang hendak ke Filipina, singgah ke Pulau Miangas, dia menemukan jejak kaki pasangan lalu mencarinya dan membuangnya ke laut. Namun, ikan hiu yang pernah mengantar pasangan tersebut datang menolong dan mengantarkan mereka kembali ke Miangas.
Beberapa orang dari Nanusa datang kembali dan membawa lebih banyak warga dari sebelumnya, hanya saja ia menemukan jejak kaki yang sama. Mereka pun beranggapan kalau jejak kaki itu adalah roh pasangan yang telah mereka buang ke laut. Mereka pun pergi dan membiarkan pasangan tersebut. Sepasang suami-istri itu pun hidup beranak-pinak di Pulau Miangas.
Kata Miangas itu sendiri berarti "menangis", hal itu karena pulau ini letaknya sangat jauh dari jangkauan transportasi laut dan lebih dekat dengan negeri orang, yakni Filipina. Berbeda dengan bahasa Talaud. Arti kata Miangas dalam bahasa Talaud adalah "malu". Konon pada masa lampau, seseorang dari Nanusa beranggapan bahwa Pulau Miangas tidak berpenghuni, saat ia menginjakkan kaki ke Pulau Miangas, ia merasa malu karena Pulau Miangas sudah berpenghuni.
Pulau Miangas memang lebih dekat dengan Filipina, jarak antara Filipina ke Pulau Miangas dapat ditempuh selama dua jam, sedangkan jarak yang akan di tempuh dari Pulau Miangas ke Pulau Sulawesi, butuh waktu tiga hari dua malam.
Namun, perjalanan panjang menuju Pulau Miangas menjanjikan kita akan pemandangan yang sangat indah serta pulau-pulau yang memiliki daya tarik bagi para wisatawan. Salah satu kapal yang selalu melintas hingga merapat ke Pulau Miangas adalah Kapal Perintis. Salah satunya, Meliku Nusa.
Meliku Nusa adalah kapal perintis yang akan mengantarkan kita mengarungi lautan ditemani oleh tiupan angin merdu menyusuri pulau demi pulau hingga tiba di Miangas. Pulau pertama yang akan kita temui saat melewati Kepulauan Sangir adalah Pulau Makalehi. Selanjutnya, Meliku Nusa akan mengantarkan kita ke Pulau Ulu Siau. Pulau kedua yang memiliki pemandangan puncak gunung yang sangat indah. Meliku Nusa pun mulai berlabuh kembali, dan mengantarkan kita menuju pulau-pulau lainnya. Diantaranya, Pulau Tumore, Pulau Kawio, dan Pulau Marore.
Hingga akhirnya kita tiba di Pulau Miangas. Dermaga yang ramai dipenuhi oleh warga Pulau Miangas yang sekedar mengambil barang pesanan mereka dari pulau seberang atau beberapa warga yang menyambut kedatangan sanak saudara mereka, dan juga beberapa warga Pulau Miangas atau pengunjung Pulau Miangas yang akan berlabu ke pulau lain meninggalkan Pulau Miangas menjadikan kaca mata awal kita ketika tiba di Pulau Miangas.
Meliku Nusa hanya menyandarkan kapalnya sekali per dua minggu. Ketika kaki ini melangkah turun dari kapal menuju dermaga Pulau Miangas, deru ombak terdengar begitu ramah menyambut, angin seakan berbisik-bisik mengucapkan kata "selamat datang", lautnya yang begitu biru dan jernih seakan menatap dan menoleh melihat setiap langkah kaki yang mengayun di Pulau Miangas, pasir putih bagaikan aspal yang akan selalu diinjak.
Ketika kita membalikkan badan kita ke arah laut, tampak jelas gradasi warna laut dari pinggir pantai hingga ke tengah laut lepas. Pasir putihnya pun begitu indah, terdapat butiran-butiran berwarna merah dalam pasir.
Satu lagi yang tampak jelas menyambut kedatangan kita di Pulau Miangas. Satu tugu pahlawan yang berdiri dengan kokoh lengkap dengan senjatanya dan semboyan yang kini jadi sejarah, "Biar saya mati di gantung, tidak mau tunduk kepada penjajah." Inilah Tugu Santiago, menjadi simbol NKRI Pulau Miangas. Pahlawan Santiago yang berjuang mempertahankan wilayah Indonesia. Bagi masyarakar Sulawesi Utara, khususnya di kabupaten Talaud, sebutan Santiago tercatat dalam sejarah sebagai ikon perlawanan terhadap kolonialisme sekira tahun 1670-1675. Sebagai nama tokoh (pejuang), Santiago adalah seorang raja di kepulauan Sangihe yang tewas dihukum pancung oleh penguasa VOC.
Oleh karena itu, tidak boleh sebutir pasirpun dikuasai oleh negara asing. Hanya saja, jarak yang begitu jauh antara Pulau Miangas dengan ibukota, membuat proses pembangunan berjalan lambat dan berimbas kepada kesejahteraan warganya.
Pulau perbatasan ini sangat kental dengan adat-istiadat mereka. Menanamkan kearifan lokal dengan terus menerapkan budaya-budaya mereka hingga kini. Satu proses yang harus dilewati saat menginjakkan kaki di sini adalah melakukan pendakian ke Gunung Keramat. Gunung yang terletak di bagian utara Pulau Miangas merupakan
Sampai saat ini pun masih ada tokoh-tokoh adat yang dengan hangat memberikan pemaparan seputar Pulau perbatasan ini. Pulau yang begitu indah ini diisi oleh warga yang menjaga kearifan lokal dan nasionalisme. Mereka sadar betul bahwa mereka adalah warga Indonesia dan patut menjaga budaya Indonesia.
Mayoritas warga Pulau Miangas beragama Kristen Protestan. Keseharian mereka diisi dengan ibadah dan acara adat. Berbagai aturan pun lahir di pulau ini. Diantaranya, melarang warga untuk berkegiatan atau bekerja di Hari Minggu. Hal ini karena Hari Minggu merupkan hari libur dan setiap warga harus memanfaatkan kesempatan ini untuk istirahat, bukan bekerja. Warga tidak boleh ke kebun dan melaut saat Hari Minggu. Bila ada warga yang melanggar, akan diberlakukan hukum pukul tambor. Ini merupakan tradisi adat warga Miangas.
Warga ataupun pendatang yang melanggar akan digiring keliling kampung sambil memukul tambor dan meneriakkan kesalahan mereka. Begitu pula dengan pelanggaran-pelanggaran lain, seperti berhubungan gelap.
Bukan hanya Hari Minggu warga Miangas tidak boleh berkegiatan, melainkan di hari duka. Ketika ada salah seorang warga Miangas atau keluarga yang sedang berduka karena kehilangan sanak saudara, warga Miangas harus menghargai dan turut berduka cita dengan tidak beraktivitas sampai jenazah dimakamkan. Ini merupakan satu wujud penghormatan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Pulau Miangas pun kaya akan kekayaan alam. Hampir seluruh jenis ikan ada di hamparan lautnya. Beraneka kuliner laut bisa tersaji di pulau ini. Begitu pula dengan hasil kebun, seperti kelapa, cengkeh, sagu tanah, talas laluga, daun lelem, dan masih banyak lagi.
Sekalipun kekayaan alam melimpah, warga masih sulit untuk mengolah dan memasarkannya. Wilayahnya yang cukup jauh pun mengakibatkan mahalnya kebutuhan pokok sehari-hari. BBM diharga 25ribu per liter, ketika bahan makanan naik, cabai pun bisa dihargai 1000 rupiah perbiji. Saking sulitnya mengakses bahan pokok dan jauhnya bahan pokok yang harus diantarkan ke Miangas, harus melewati pulau demi pulau.
Penduduk Miangas yang mayoritas nelayan ini pun sulit memperoleh pelayanan di bidang kesehatan. Tidak ada satupun dokter yang mengabdikan dirinya di Pulau ini. Puskesmas seperti bangunan pajangan. Puskesmas lebih sering kosong tanpa pekerja. Warga sulit mendapatkan obat ketika sakit, dan hanya memanfaatkan pengalaman dari warga yang tahu sedikit tentang kesehatan. Hal ini pun diterapkan bagi ibu-ibu yang hendak melahirkan, warga hanya meminta tolong pada pengalaman, bukan bantuan dokter.
Sarana yang ada di Pulau Mingas cukup banyak, namun sumber daya manusianya yang jarang terlihat. Bukan hanya di puskesmas, pendidikan pun layak di sorot. Pulau ini sangat membutuhkan guru yang bisa membangkitkan semangat belajar anak-anak Miangas. Tidak jarang tentara yang bertugas di perbatasan pun turut menjadi guru.
Pulau ini menfaatkan sumber daya matahari untuk sehari-hari. PLTS menjadi andalan para warga Miangas untuk menerangi di malam hari. PLN pun tersedia di sini, listrik akan padam setiap pukul 06.00 WITA hingga 15.00 WITA, dan akan menyala pukul 15.00 WITA hingga 06.00 WITA atau pagi hari. Terkdang pun jadwal pemadaman listrik berubah. Hanya saja kini mulai diupayakan agar para warga bisa menikmati listrik selama 24 jam.
Pulau ini merupakan aset bangsa. Butuh perhatian lebih dan juga binaan agar semakin berkembang dan bisa menjadi ikon Indonesia.