Wednesday, December 31, 2014

Meriah Di Udara







Malam penuh ledakan meluap ke udara
Hanya persoalan desember yang akan berakhir karena kehadiran januari
Seolah lupa akan sejarah
Atau mungkin tak pernah mengenal sejarah
Enggan mempelajari sejarah

Harusnya kaki ini tidak terhenti melangkah
Harusnya tidak di patok pada mesin waktu yang seolah mengejar kita
Masihkah kita menapak pada titik yang sama?
Masihkah kita dengan wajah yang begitu-begitu saja?
                                 
Kalau saja mereka paham atau mungkin aku paham                                    
Dunia ini sudah runtuh karena omong kosong kita setiap tahun
Dunia ini tertawa karena kebobrokannya setiap tahun
Meniru budaya yang mendewakan pesta
Ada yang senantiasa memanjatkan doa
Ada yang melepas harga dirinya
Ada yang menganggap ini biasa saja

Aku hanya bisa merenungi langkah ini
Sejauh mana mampu bertahan
Sejauh apa aku telah berusaha
Apa yang sesungguhnya kudambakan dan orang tuaku dambakan padaku sejak ku kecil?

Apa yang sebenarnya ku kejar?

Dunia berbalik bertanya padaku
Kemajuan apa yang telah kuhasilkan


Monday, December 29, 2014

Dunia Dalam Doa

Merajut sebuah jawaban dalam benih ketidakpastian
Rambutnya tergerai lembut menyusuri awan hitam
Dia enggan berbalik walaupun iya tahu ada jawaban di belakangnya
Masih seperti dulu
Mengkhayalkan hal yang belum terjadi
Masih seperti pada masa itu
Menangis tanpa alasan

Mengetuk sebuah pintu yang tak dikunci
Jemarinya bergetar seraya berada dalam ruang hampa udara
Dia enggan bersuara walau tahu suaranya akan mengeluarkan jawaban
Masih seperti kemarin
Mengasihi diri sendiri tanpa tahu pasti arti kata kasihan
Masih seperti pagi tadi
Lupa akan secangkir susu yang dia tinggalkan

Melangkah menuju lapangan berjeruji
Kakinya terpincang-pincang seolah akan jatuh di titik yang sama
Dia enggan untuk hanya duduk walau dia paham apa yang ada di sana
Masih sama tiada beda
Sadar akan Tuhan tiada dua untuk membantunya

Friday, December 12, 2014

Rasa Abadi

Warnanya begitu menggodaku
Memaksa ragaku untuk mendekat
Kuhirup dalam aromanya
Sungguh segar dia, sungguh penuh dengan sensasi

Dagunya terangkat, menggambarkan leher jenjangnya
Rahang seperti itu yang kucari
Tajam dan tegas
Sangat memiliki jati diri

Ku raih punggungnya, lebih hebat dari guncangan semalam
Hanya sekali sentuhan aku tahu
Tahu bahwa tubuhnya begitu bugar
Dia menatap lurus kearahku, masuk hingga ke retina, terbalik lalu terjatuh

Jemarinya menyentuh pipiku
Semakin dingin
Semakin hanyut
Aku melemah dan hanya dapat menarik nafas panjang
Kedua belah bibirku merekah lalu menghembuskan nafas halus

Dia bingung menatapku
Dia bertanya-tanya akan diriku yang mengagumi jemarinya
Jentik, panjang, dan sekali lagi, begitu tegas

Kuberanikan diriku untuk menjauhkan tangannya dari pipiku
Bukannya betul-betul kujauhkan, melainkan ku genggam
Tepat saat dia memiringkan kepalanya
Semakin jelas leher itu kulihat
Alis mata tebalnya
Matanya yang tajam
Bibirnya yang sempurna
Hidungnya yang menjadi impian setiap manusia
Semua itu tidak menarik perhatianku

Yang aku tahu
Sekali lagi bau segar ini kucium
Sekali lagi aromanya sangat nyata

Kubayangkan warnanya yang pekat
Sedikit kental dan akan membuat bibir ini semakin merona

Aku sadar setelah kita semakin dekat
"Aku mau meminum darahmu!"

Sunday, December 7, 2014

Wadah Sebuah Jiwa Bernyawa

Nyawa, apa kabar kamu?
Marah rasanya ketika aku tahu kau baik-baik saja
Jiwa ini mengalun manis saat terakhir kali wadahnya hancur
Jiwa ini tidak berbicara lagi tentang tawa bahagia

Oh ya, kepala ini seperti mengalami benturan besar
Memaksa lupa akan nyawa yang menggores jiwa
Cabut saja lantas itu akan jadi solusi
Kuburkan saja agar nyawa tak lagi tersiksa
Bukankah nyawa membenarkan darah ini menetes karena nyawa selalu benar?

Jiwa akhirnya rapuh dan kembali dalam kertas kosong
Tapi saat di balik, kertas ini penuh coretan
Pantas saja jiwa ini memberontak keras seakan ingin keluar dari wadahnya
Pantas saja jiwa ini kacau akan pikiran matang tentang pertumpahan darah

Akan kuraih sehelai rambutmu, hanya untuk memastikan kau bernyawa
Bukankah kabar gembira bagiku bila kau bernyawa?
Agar wadah ini bisa kembali berdarah tepat di hadapanmu

Senangnya jiwa ini ketika tahu kakimu tak lagi suci
Kakimu yang tidak suci itu berbau setan
Apakah kau tidak sadar kita sedang bermain dengan roh-roh pemangsa?
Semestinya kau diam saja saat api mulai membakar hatimu
Semestinya kau hempaskan tubuhmu ke tanah kubur itu
Nyawa, kau begitu bodoh
Mengedepankan nafsumu di atas segalanya

Jiwa akhirnya terbang menembus masa lalu
Menabrak dinding emosi yang telah lama ia bangun, ia pendam, ia remehkan

Seandainya membunuh itu bukanlah dosa
Ku pastikan nyawamu sebagai saksi pertumpahan darah pertamaku.