Saturday, August 16, 2014

Kalau Dia Itu Diam

Kemarin botolnya pecah dihadapanku, aku kaget lalu terdiam di bawah pohon gugur itu. Ternyata tidak menjadi alasan untuk tenang. Jelas sudah kalau ini jawaban persolan hari ini. Tapi dia mencakar matanya sendiri dengan jarum. Oh tidak, bukan jarum tapi kuku. Dia menghitung seberapa banyak dia mampu mencakar, semakin banyak luka yang dia hasilkan maka semakin tinggi derajatnya.

*Lalu aku terbangun

Ternyata botol, pohon, dan jarum itu hanyalah sebuah mimpi. Kuku itu menyadarkanku ini mimpi. Amat sangat tidak masuk akal dan tiada mungkin kau peroleh di dunia nyata. Jalannya sih singkat, tapi lelahnya terasa hingga pingsan.

Saat mereka mencoba membangun karakterku dengan menerka apa yang sedang kupikirkan aku lalu mengambil jalan pintas. Pola pikirku mungkin berbeda dari kebanyakan orang yang berusaha menyelaraskan buku bacaannya dengan kehidupan nyata. Kali ini aku mencoba menjadi nyata, keluar dari buku yang menjanjikan jalan hidup lurus tanpa kelok yang meneduhkan. Akhirnya aku mencari jalan lain yang instan. Ternyata lebih parah. Ini justru melahirkan buah pikir yang makin merasuk hingga ke nadi. Hal yang belum dipikirkan sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Bukan visioner tapi takut akan masa depan buruk tanpa mencari solusi.

Jadilah dia air yang hanya mengalir ke bawah, kuulangi "KE BAWAH!"

Kini aku asal menjalani duri yang menusukku hangat. Iya, memang dia segalanya di atas segalanya hingga aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Pertanyaanya! DIA itu siapa yang dimaksud dalam tulisan ini?

Dia memaksaku melakukan hal-hal yang tidak perlu. Terkadang caranya hangat dan membenarkan, tapi kadang pula membunuh logika. Jadilah logika keliru yang menyelimuti sepi. Oh..tidak, ternyata ini mimpi lagi.

Aku lalu berdiri dan beranjak menuju jendela, mentari masih senyum seperti biasa, tananhnya pun aromanya tidak berganti. Lalu apa ini? Impian semu? Jalan buntu?

Tiada keberanian memastikan dunia. Akhirnya aku kembali ke dalam selimut itu, lalu aku tidur kembali, berharap mimpiku berlanjut.

Ini tentang aku dan dia (otak)

Dunia ini bukan fantasi, tapi penuh fantasi.
semenit saja berimajinasi tentang fairy tale, jadilah dia lima tahun mendekam dalam doa.

Monday, August 4, 2014

Musim Kelabu

Mentari masih saja menyapa dengan ramah
Berharap angin yang berhembus pagi ini kabarkan senyuman
Sejenak dedaunan kering terbang ke arahku
Mataku lalu terurai senyap seperti senja

Pagi ini seperti ada ombak di teras rumah
Seperti ada gambaran dunia dalam botol plastik di samping dinding pintu
Bagai kemarau panjang namun dingin
Beku dalam tanya besar dalam sebuah impian

Ini langkah penuh tanya yang paling kutakutkan
Meraih segenggam harapan dalam senyumannya

Pelukan ini masih kosong
Dan hanya akan diisi oleh seseorang yang pantas
Bagai bunga di pojok meja di ujung sana
Yang enggan melirik akan masa depan yang masih diam di sampingnya

Seraya mengusap keringat di kening ini
Lelah rasanya melewati pendulum yang tak berhenti berdetak
Kalau saja ini mimpi, nyatakanlah
Namun ini kenyataan, utarakanlah

Aku masih bingung dengan otakku yang sibuk menerka sikap
Takut akan benang merah yang mempertemukan kita yang bisa jadi menghancurkan kita
Harusnya ku biarkan saja agar bel itu jatuh dan tak bunyi lagi
Harusnya ku hancurkan saja pintunya agar tiada lagi yang datang mengetuknya
Biar jadi satu alasan untuk menjauh dalam hidupmu

Musim kelabu, samar-samar tapi nyata
Andaikan mereka bertanya tentang impian, sudah pasti akan kujawab
Tapi mereka bertanya tentang kekinian
Di saat kita sedang menari bersama dan tak tahu akan mengakhiri tarian ini seperti apa

Aku tidak mau jadi malaikat yang tersenyum lalu menjauh
Aku pun tak mau kau begitu
Kita tidak banyak menghabiskan minuman di hadapan kita
Tapi kita tak jua berbicara akan masa depan
Kita hanya tertawa lalu pulang dengan harapan
Kita tidak tahu pasti kapan kita akan duduk berdua

Gerobak Dagang

Saya punya satu keinginan berbeda dari ribuan keinginan. Mungkin ada yang sama dengan saya. Hanya saja tidak sepenuhnya sama. Itulah saya, maunya beda terus tapi sebenarnya tetap sama. Saya pernah menulis satu puisi tentang kekecewaan hati akan impian. Mimpi itu hal besar yang harus dipertanggung jawabkan. Saya pernah menulis tulisan berjudul "A Dream". Itu tulisan yang sudah cukup lama saya posting di blog ini.

Entah mengapa saya merasa terhalangi untuk membuat hal saya inginkan itu pasca kuliah S1. Tuntunan untuk menjadi lebih besar sekali dari orang tua. Saya merasa tidak pernah salah langkah. Selama kuliah hampir 4 tahun, saya tidak pernah jadi pengangguran. Justru sekarang ini saya malah menganggur, padahal jelas sudah kalau saya ini S1.

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, yang fokus pada bidang broadcasting. Awalnya saya memilih broadcasting karena saya tidak mau kuliah itu terkesan gampang. Jujur saja, saya tidak pernah merasa sibuk karena kuliah, makanya saya tetap berorganisasi bahkan bekerja. Saya pernah menjadi Jurnalis KeKeR di Harian Fajar. Banyak yang saya peroleh di sana, termasuk persoalan jurnalistik. Hal itu yang membuat saya tidak ingin fokus di jurnalistik saat kuliah. Akhirnya saya memilih broadcasting, jadilah saya TUKANG selama 2 tahun.

Saya mau kursus menjahit pasca kuliah S1. Pertanyaannya, nyambungnya dimana dari broadcasting? Gak ada bro.. gak ada..

Mama sering buat baju sendiri, saya mau punya karya baju sendiri. Alasannya simpel, karena saya mau beda dari yang lain.Lagi-lagi maunya beda. Saya pun sering dikecewakan sama penjahit, hasilnya beda sama yang saya gambar dan bayangkan. Sering kali saya sudah berangan-angan jainya seperti Princess, ternyata ngenesss...

Hal itu yang mendorong saya mau belajar menjahit, tapi sampai detik ini selama saya nganggur, saya cuma menghamburkan tabungan saya untuk bersenang-senang. Sah-sah saja, Toh selama 4 tahun saya lelah banting tulang ngumpulin duit buat kesenangan saya sendiri. Haha..

Keinginan saya untuk menjahit itu maunya bisa terwujud dengan bersekolah S2 di Prancis. Paris masih menjadi tempat tujuan utama dan yang dipercaya untuk Fhasion dan juga film. Nah, galau sudah saya karena mau di film juga.

Uang saya sudah tipis sekarang, padahal nganggurnya sebulanan. No job, no project, just happy. Haha but NO MONEY NO LOVE!!

Yah, itu yang saya rasa sekarang.

Saya akhirnya memberanikan diri, saya hanya meminta GEROBAK sama papa.

"Papa, belikan saya gerobak. Itu saja, saya nda punya modal beli gerobak, saya cuma mau jualan!"

Itu yang saya mau akhirnya. Saya selain pernah jadi jurnalis, pernah juga jadi marketing di Vedit, dan pernah MLM di oriflame tapi tingkatannya gak naik-naik. Oriflame produk kecantikan yang memang saya pakai, So gak masalah kalau saya mau gabung bisnisnya, tapi gak ada hasilnya. Susah banget buat rekrut orang. Lebih enak marketing di Vedit, lebih gampang ngomongnya. Hal itu yang buat saya mandek di Oriflame. Gak bisa dengan sistem downline itu. Susah buat saya.

Saya pun pernah jualan jilbab, milih kain sendiri, plus jahit sendiri. Ada juga yang beli dalam jumlah banyak dan saya jual kembali. Saya jualnya sistem online. Sampai-sampai grup organisasi saya Liga Film Mahasiswa, saya pakai buat promo produk. Hahahaha..

Rasanya enak jualan, nama akun online saya saat itu Fash Merakyat. Kenapa merakyat? Soalnya barang saya murah, tujuannya simpel. Banyak mereka yang mau tampil cantik dan modis tapi mahal. Makanya saya mau buat yang less price tapi kualitasnya bagus. Terbukti kok, jualanku laku. Paling mahal 50 ribu untuk jilbab, paling murah 15 ribu.

Untungnya lumayan, bisa habis di buat beli sepatu dan tas. Haha, belanjaku masih jauh lebih over dibanding jualanku.

Tapi keinginanku memiliki gerobak tidak terwujud, Papa sama mama bukannya tidak mendukung keinginan saya berjualan, terjun di fashion, ataupun film, ataupun jadi dosen. Tapi mereka mau kalau saya punya pekerjaan tetap. Saya sempat berpikir untuk bekerja di media lagi. Tapi selain karena sulitnya buat independen, Papa sama Mama pasti gak setuju lagi. Pengalaman pas masih di Fajar. Hari libur gak libur, hari raya ngeliput. Luaaaar biasa.

Makanya saya maunya jadi pedagang yang bisa bikin film kapan aja saya mau dan mengajar di salah satu Universitas di Indonesia (dosen).

Tapi mesti punya pekerjaan tetap. Like BUMN dan CPNS. Soalnya kalau sekarang mau jadi dosen gak bisa, mesti S2 dulu. Sekarang mungkin saat yang tepat buat cari pekerjaan tetap sesuai dengan bidang studi saya selama kuliah. Semua bidang dalam Ilmu Komunikasi lah pokoknya. Next gajinya buat modal dagang, terus kursus bahasa Inggris sama Prancis. Terus cari beasiswa ke Prancis, terus pulang bawa karya, besarkan nama Indonesia. HUAHAHAHAHAH

Entahlah.. jadi apa saya kelak.
Gerobak dagang. Sesungguhnya kau yang kuinginkan saat ini.

Karena Sejak Itu Kamu!

Bayangkan jalan yang kau tempuh di sana sama persis dengan apa yang ku lalui
Ingatlah satu tempat kembali yang letaknya tak jauh dari dirimu
Sayang sekali ketika kesadaran ini menjadi tempat untuk menangis

Yah,
Aku tahu mereka makin menggila mempertanyakan tentang ini
Kadang tingkat rasional dalam diri ini menjadi buta untuk menjawab
Sering kali hanya sebatas batu yang diam namun menyakitkan

Kerasnya tidak terhalangkan
Kamu tahu kan saat kita duduk berdua di tangga kecil itu, ada sebuah tanya menghantui yang membuatku merona
Seiring waktu aku akan menjawabnya dengan serius
Aku hanya sedang tidak baik-baik saja
Manakala bintang pun enggan memberikan kerlipnya pada senyum yang kutorehkan
Senyumku boleh jadi kau tolak

Kadang mereka melebih-lebihkan sesuatu yang tidak akan kulebihkan
Kadang pula aku malah tampil berlebihan untuk menjadi nomor satu
Sejak saat itu aku sadar kalau kamu ada
Kamu menapaki waktu kosong itu bersamaku
Yang jelas kunilai hanya sebagai titik perkenalan

Sesaat aku terdiam ketika memulai percakapan serius
Masih saja bergulat dengan masa lalu
Aku tak langsung menatapmu yang ada di hadapanku
Hanya saja aku menjadi optimis

Karena sejak itu aku sadar
Kamu sudah hadir lebih awal
Memang sengaja menjaga perasaan
Dan kamu ada

Karena sejak saat itu
Kamu!

Belajar Mengenal dan Menghargai (Pencari Tuhan)

Ini terjadi ketika saya duduk di bangku SD. Bukan hal baru bagi saya terhadap pertengkaran di lingkungan teman. Sering kali saya menjadi objek untuk tingkah jahil dan ejekan seputar kisah cinta anak SD. Saya pernah amat membenci teman saya, kerjanya hanya mengganggu dan gemar menyontek. Saat itu menyontek adalah perbuatan tercela di masa SD. Berbeda ketika jenjang pendidikan semakin tinggi. Kita semakin lupa akan pengawasan Tuhan pada kita. Justru, ketika kita tidak menyontek akan di anggap terlalu serius dalam belajar, dan ketika tidak memberi contekan, kita adalah makhluk pelit sejagad raya yang harus siap di buli di belakang layar dan di benci teman sekelas.

Saya pernah meminta untuk dipindahkan dari sekolah karena muak dengan sikap teman saya yang nakal. Teman perempuan pun banyak yang suka mengejek saya NORAK. Saya tidak mengerti kenapa, hanya karena saya suka warna "MERAH". Bagi mereka warna ini terlalu menyala dan terkesan norak. Sekarang baru saya paham, tidak semua orang cocok menggunakan warna merah, dan warna itu ternyata menjadi simbol kepribadian, bahkan diartikan berbeda-beda oleh banyak orang.

Saat itu saya sakit hati, tapi saya ada dalam bagian mereka. Saya pun bukan tokoh protagonis di hidup ini, saya bisa mencela apapun yang saya mau. Bahkan mengatakan kalau teman saya itu dari keluarga miskin yang tidak bisa merawat diri. Hal itu pernah saya lakukan di usia SD. Saya tidak merasa bersalah, karena saya pun punya teman yang sering menceritakan keanehan saya di belakang layar. Entah itukah yang dilakukan anak SD? Hanya saja saya adalah tokoh frontal yang berani mengkritik siapa saja depan umum.

Perlahan keinginan saya untuk pindah sekolah itu pudar dan lenyap seketika. Saya masih ingat percakapan Mariesa si anak SD angkuh itu kepada ayahnya.

Saya : Pa, saya mau pindah sekolah!
Papa : Kenapa?
Saya : Saya sering diejek, terus digangguin sama teman cowok, saya biasanya balas tapi mending saya pindah saja. Ada juga temanku yang nakal sekali pa, saya mau pindah saja.

Saat itu papa menjawab dengan bijak.

Papa : Di semua sekolah ada anak nakalnya, dalam satu kelas, ada yang paling cantik, ada yang cakep, ada yang biasa-biasa saja, ada yang paling pintar, ada yang bodoh atau sulit menangkap pelajaran, ada juga yang nakal dan suka diejek dalam kelas. Berteman saja sama siapa saja.

FIX!

Jawaban yang mudah kucerna di usia SD, dan saya menulis ini sambil meneteskan air mata. Akhirnya saya paham.

"Dunia ini diisi dengan berbagai masalah, berbagai tokoh, sikap, dan juga strata sosial. Tujuan satu, untuk belajar menghargai, menguji kita untuk sabar, dan senantiasa bersyukur."

Saya tidak lahir di keluarga kaya, tapi saya mampu tampil dengan berbeda-beda sepatu setiap jalan, saya tidak suka meminta-minta barang atau apapun kepada Papa, karena beliau mengajarkan saya menabung.

Katanya, "kalau kamu mau sesuatu, kamu nabung, bukannya papa gak mau belikan. Tapi kamu harus belajar usaha, kalau target yang kamu mau beli tercapai, rasanya lega dan pasti bangga ke diri sendiri!"

Saya menyesal pernah mengeluarkan kata "miskin" kehadapan teman saya yang juga pernah ikut mengejek saya. Saya kadang merasa, apa dia tidak bercermin sebelum menghina? Tapi pertanyaan itu pertama kali harus ditujukan ke diri sendiri yang sampai detik ini pun belum juga menjadi pribadi yang bijak.

Saya tidak jarang menjadi tokoh yang membuat teman-teman saya tertawa. Saya humoris, saya berani tampil gila. Saya pun adalah perempuan yang senang sekali dengan puisi. Saya berkali-kali tampil membacakan puisi saat SD, dan menjuarai lomba puisi. Saya pun bahagia dengan yang saya jalani dengan ikut menari dan bermain drama saat SD. Kadang pula tampil bernyanyi dalam paduan suara. Saya pun aktif di organisasi pramuka SD. Saya sering ranking 2 dan sulit menggeser teman saya yang hobinya ranking 1.

Saya tidak pernah dimarahi karena nilai jelek.

Saya : Papa, saya dapat nilai 2 pelajaran agama.

Papa saya kaget ketika saya mendapat nilai 2 saat SD. Mungkin beliau berpikir, kurangkah buku yang beliau belikan untuk saya? Bukankah saya sudah di masukkan di TPA?

Jangankan buku tentang agama, saya muntah2 baca buku banyak waktu SD. Saya juga langganan majalah Bobo sampai SMP.

Papa : Kok bisa? Coba papa liat kertas ulangannya! Sudah di bagikan kan?
Saya : Ini pa, saya tidak tahu jawabannya. Banyak pertanyaan tentang hadist.
Papa : Kamu tidak pernah baca buku? Tidak belajar sebelum ulangan?
Saya : belajar
Papa : Coba bawa bukumu kesini!

Awalnya saya takut untuk mengatakan hal jujur persoalan nilai ulangan. Tapi saya paling takut bohong sama orang tua. Semua temanku mungkin pernah saya bohongi, bahkan guru. Itu di usia SD. Tapi tidak pada orang tua. Tepat saat itu juga saya sama papa membahas soal dan isi buku pelajaran agama.

Rasanya lega, dan saya cuma disuruh belajar dan perbaiki nilai di ulangan berikutnya. Teman saya ada yang dimarahi. Tapi tidak dengan saya. Dari kecil mama juga sudah menerapkan sistem diskusi dalam rumah. "Yuk, curhat tentang apapun!" kasarnya kayak gitu.

Saya akhirnya berani cerita apapun, bahkan persoalan di hukum di sekolah.

Saya punya banyak teman akrab yang berbeda keyakinan. Dulu saya bilang ke mereka. Tuhan itu satu, agamanya yang banyak. Tuhan itu satu, tapi nama panggilannya beda-beda.

Saya terlahir di keluarga muslim, jelas sudah saya muslim. Seorang muslim yang banyak tanya. Di TPA, saya pun tidak jarang pulang dalam keadaan menangis, entah karena sendal di curi ataupun berkelahi. Yah, saya pulang dalam keadaan kalah. Tapi saya tetap punya banyak teman di TPA. Tetap punya gang.

Saya benci dengan perkelahian yang diisi dengan sumpah.

"Saya sumpahi ko masuk neraka!"
"Jangko nakal mariesa, masuk neraka ko itu!"
"Di tunggu ko di neraka jahanam kalau ko gangguka!"

Itu mamanya yang ajarin kayak gitu yah?
Terus saya harus ikut-ikutan?

Alhasil..

"Kau itu yang masuk neraka, karena duluan ko gangguka!"
"Biarmi, kayak tong bisako masuk surga!"
"Neraka jahanam kau nah!"

Saya tidak habis pikir dengan kata-kata itu. Yang saya tahu, saya gila karena ikut-ikutan seperti itu.

Tuhan itu seperti ancaman.

Seolah-olah kita ini makhluk yang sengaja diciptakan untuk berdosa. Supaya neraka ada isinya. Sekali lagi saya cuma mengadu.

Saya : Mama, kenapa saya disumpahi masuk neraka? Kalau kita nakal masuk neraka kah?
Mama : Makanya jangan nakal. Sholat. Begitu memang anaknya 'tiiiit' tidak usah di dengar.

Kata SHOLAT!
Ini kata yang mengantarkan pada buku kesekian yang saya baca. Saya membaca hadist dan buku tentang baligh. Intinya, saya baru bisa berdosa kalau saya sudah mulai haid. Itu syarat baligh perempuan. Jadilah senjata baru dalam pertengkaran dunia.

"We Mariesa, masuk neraka ko nah!"

"Tidak nah, karena belum paki baligh, jadi tidak berdosa paki!"

"Iyo?"

Musuhku langsung lumpuh seketika.

Mama selalu mengajarkan saya sholat dan puasa. Saya memang sholat. Tapi puasa saya selalu setengah hari, rasanya menahan lapar itu susah. Dan saya belum baligh, saya baru memulai puasa sehari penuh itu ketika saya duduk di bangku SMP kelas 2, saat saya mulai haid.

Pemahaman saya tentang baligh saat haid membuat saya tidak mau puasa dengan penuh.

Mama sama papa tidak pernah memaksa, dan tidak pernah mengiming-imingi saya kado ketika puasa atau sholat saya full!

Saya belajar untuk mengenal Tuhan dengan ikhlas.

Saya pernah bertengkar hebat seusai pelajaran agama saat SD. Kalau belajar agama otomatis kelas di bagi, yang non-muslim ke kelas lain, yang muslim tetap dalam kelas. Saya bisa mengaji dengan lancar, dan saya berani mengejek teman saya yang belum bisa mengaji.

"Ko ndak di kasi mengaji di mesjid sama mama mu kah?"

Itu ejekan atau pertanyaan?

Seusai pelajaran agama, saya membaca buku teman saya yang non-muslim. Awalnya saya bertanya dengan baik dan sepaham. Semuanya sama, kita sama-sama punya nabi Adam sampai nabi Isa. Di sinilah pertengkarannya. Mereka tegas memperkenalkan Tuhannya, dan saya dengan tegas

"Tuhanmu itu manusia, yang ciptakan dia itu Tuhanku!"

Alhasil saya dimusuhi.Lagi-lagi yah...

Mereka bilang, Tuhanku tidak kelihatan, tidak tahu ada apa tidak.

Sosok Tuhan pertama kali dikirimkan dalam wujud orang tua. Dari yang saya tuliskan, orang tua saya diciptakan untuk pelan-pelan memperkenalkan saya pada sikap Tuhan.

Kita diciptakan beda-beda, dibebaskan mencari langkahnya dan memperoleh kasihnya dengan cara apapun yang Halal dan syar'i.

Tuhanku tidak kelihatan yah?
Kentutmu kelihatan?
Nafasmu kelihatan?
Rasa cinta kelihatan apa dirasakan?

Kenapa kamu tidak bisa melihat darahmu sendiri kecuali ketika kamu berdarah karena luka?
Saking dekatnya darah itu melekat pada tubuh, maka kita tidak bisa lihat.

Begitu pula Tuhan, terlalu dekat. Letaknya di hati, makanya saya tidak lihat, tapi saya rasa. Dan saya takut melukai hati ini, karena di sana ada Tuhan, di sini, di hati kecil.

Saya diciptakan bukan untuk langsung menyembah, tapi memahami. Dengan cara mempertemukan saya dengan orang tua dan teman-teman seperti kalian.

Tuhan saya tidak saya ukir dalam kayu lalu saya sembah, tidak saya buatkan kerangka bunga lalu saya sembah. Dia lebih hebat dari apapun, buat apa di ukir, buat apa di bawakan buah maupun bunga? Toh dia yang ciptakan. Dia tidak meminta saya membayar nafas dan darah. Dia hati kecilku.. Allah SWT.

Perlahan saya paham dan mulai menghargai mereka. Semua butuh proses, kami tetap bersahabat. Semua ada jalannya, Semua agama pun sebenarnya mengajarkan pada kebaikan. Namun ada hal yang lebih indah saya dapatkan di sini. Pelan tapi pasti akan hadir di tulisan saya selanjutnya.

:))