Monday, August 4, 2014

Belajar Mengenal dan Menghargai (Pencari Tuhan)

Ini terjadi ketika saya duduk di bangku SD. Bukan hal baru bagi saya terhadap pertengkaran di lingkungan teman. Sering kali saya menjadi objek untuk tingkah jahil dan ejekan seputar kisah cinta anak SD. Saya pernah amat membenci teman saya, kerjanya hanya mengganggu dan gemar menyontek. Saat itu menyontek adalah perbuatan tercela di masa SD. Berbeda ketika jenjang pendidikan semakin tinggi. Kita semakin lupa akan pengawasan Tuhan pada kita. Justru, ketika kita tidak menyontek akan di anggap terlalu serius dalam belajar, dan ketika tidak memberi contekan, kita adalah makhluk pelit sejagad raya yang harus siap di buli di belakang layar dan di benci teman sekelas.

Saya pernah meminta untuk dipindahkan dari sekolah karena muak dengan sikap teman saya yang nakal. Teman perempuan pun banyak yang suka mengejek saya NORAK. Saya tidak mengerti kenapa, hanya karena saya suka warna "MERAH". Bagi mereka warna ini terlalu menyala dan terkesan norak. Sekarang baru saya paham, tidak semua orang cocok menggunakan warna merah, dan warna itu ternyata menjadi simbol kepribadian, bahkan diartikan berbeda-beda oleh banyak orang.

Saat itu saya sakit hati, tapi saya ada dalam bagian mereka. Saya pun bukan tokoh protagonis di hidup ini, saya bisa mencela apapun yang saya mau. Bahkan mengatakan kalau teman saya itu dari keluarga miskin yang tidak bisa merawat diri. Hal itu pernah saya lakukan di usia SD. Saya tidak merasa bersalah, karena saya pun punya teman yang sering menceritakan keanehan saya di belakang layar. Entah itukah yang dilakukan anak SD? Hanya saja saya adalah tokoh frontal yang berani mengkritik siapa saja depan umum.

Perlahan keinginan saya untuk pindah sekolah itu pudar dan lenyap seketika. Saya masih ingat percakapan Mariesa si anak SD angkuh itu kepada ayahnya.

Saya : Pa, saya mau pindah sekolah!
Papa : Kenapa?
Saya : Saya sering diejek, terus digangguin sama teman cowok, saya biasanya balas tapi mending saya pindah saja. Ada juga temanku yang nakal sekali pa, saya mau pindah saja.

Saat itu papa menjawab dengan bijak.

Papa : Di semua sekolah ada anak nakalnya, dalam satu kelas, ada yang paling cantik, ada yang cakep, ada yang biasa-biasa saja, ada yang paling pintar, ada yang bodoh atau sulit menangkap pelajaran, ada juga yang nakal dan suka diejek dalam kelas. Berteman saja sama siapa saja.

FIX!

Jawaban yang mudah kucerna di usia SD, dan saya menulis ini sambil meneteskan air mata. Akhirnya saya paham.

"Dunia ini diisi dengan berbagai masalah, berbagai tokoh, sikap, dan juga strata sosial. Tujuan satu, untuk belajar menghargai, menguji kita untuk sabar, dan senantiasa bersyukur."

Saya tidak lahir di keluarga kaya, tapi saya mampu tampil dengan berbeda-beda sepatu setiap jalan, saya tidak suka meminta-minta barang atau apapun kepada Papa, karena beliau mengajarkan saya menabung.

Katanya, "kalau kamu mau sesuatu, kamu nabung, bukannya papa gak mau belikan. Tapi kamu harus belajar usaha, kalau target yang kamu mau beli tercapai, rasanya lega dan pasti bangga ke diri sendiri!"

Saya menyesal pernah mengeluarkan kata "miskin" kehadapan teman saya yang juga pernah ikut mengejek saya. Saya kadang merasa, apa dia tidak bercermin sebelum menghina? Tapi pertanyaan itu pertama kali harus ditujukan ke diri sendiri yang sampai detik ini pun belum juga menjadi pribadi yang bijak.

Saya tidak jarang menjadi tokoh yang membuat teman-teman saya tertawa. Saya humoris, saya berani tampil gila. Saya pun adalah perempuan yang senang sekali dengan puisi. Saya berkali-kali tampil membacakan puisi saat SD, dan menjuarai lomba puisi. Saya pun bahagia dengan yang saya jalani dengan ikut menari dan bermain drama saat SD. Kadang pula tampil bernyanyi dalam paduan suara. Saya pun aktif di organisasi pramuka SD. Saya sering ranking 2 dan sulit menggeser teman saya yang hobinya ranking 1.

Saya tidak pernah dimarahi karena nilai jelek.

Saya : Papa, saya dapat nilai 2 pelajaran agama.

Papa saya kaget ketika saya mendapat nilai 2 saat SD. Mungkin beliau berpikir, kurangkah buku yang beliau belikan untuk saya? Bukankah saya sudah di masukkan di TPA?

Jangankan buku tentang agama, saya muntah2 baca buku banyak waktu SD. Saya juga langganan majalah Bobo sampai SMP.

Papa : Kok bisa? Coba papa liat kertas ulangannya! Sudah di bagikan kan?
Saya : Ini pa, saya tidak tahu jawabannya. Banyak pertanyaan tentang hadist.
Papa : Kamu tidak pernah baca buku? Tidak belajar sebelum ulangan?
Saya : belajar
Papa : Coba bawa bukumu kesini!

Awalnya saya takut untuk mengatakan hal jujur persoalan nilai ulangan. Tapi saya paling takut bohong sama orang tua. Semua temanku mungkin pernah saya bohongi, bahkan guru. Itu di usia SD. Tapi tidak pada orang tua. Tepat saat itu juga saya sama papa membahas soal dan isi buku pelajaran agama.

Rasanya lega, dan saya cuma disuruh belajar dan perbaiki nilai di ulangan berikutnya. Teman saya ada yang dimarahi. Tapi tidak dengan saya. Dari kecil mama juga sudah menerapkan sistem diskusi dalam rumah. "Yuk, curhat tentang apapun!" kasarnya kayak gitu.

Saya akhirnya berani cerita apapun, bahkan persoalan di hukum di sekolah.

Saya punya banyak teman akrab yang berbeda keyakinan. Dulu saya bilang ke mereka. Tuhan itu satu, agamanya yang banyak. Tuhan itu satu, tapi nama panggilannya beda-beda.

Saya terlahir di keluarga muslim, jelas sudah saya muslim. Seorang muslim yang banyak tanya. Di TPA, saya pun tidak jarang pulang dalam keadaan menangis, entah karena sendal di curi ataupun berkelahi. Yah, saya pulang dalam keadaan kalah. Tapi saya tetap punya banyak teman di TPA. Tetap punya gang.

Saya benci dengan perkelahian yang diisi dengan sumpah.

"Saya sumpahi ko masuk neraka!"
"Jangko nakal mariesa, masuk neraka ko itu!"
"Di tunggu ko di neraka jahanam kalau ko gangguka!"

Itu mamanya yang ajarin kayak gitu yah?
Terus saya harus ikut-ikutan?

Alhasil..

"Kau itu yang masuk neraka, karena duluan ko gangguka!"
"Biarmi, kayak tong bisako masuk surga!"
"Neraka jahanam kau nah!"

Saya tidak habis pikir dengan kata-kata itu. Yang saya tahu, saya gila karena ikut-ikutan seperti itu.

Tuhan itu seperti ancaman.

Seolah-olah kita ini makhluk yang sengaja diciptakan untuk berdosa. Supaya neraka ada isinya. Sekali lagi saya cuma mengadu.

Saya : Mama, kenapa saya disumpahi masuk neraka? Kalau kita nakal masuk neraka kah?
Mama : Makanya jangan nakal. Sholat. Begitu memang anaknya 'tiiiit' tidak usah di dengar.

Kata SHOLAT!
Ini kata yang mengantarkan pada buku kesekian yang saya baca. Saya membaca hadist dan buku tentang baligh. Intinya, saya baru bisa berdosa kalau saya sudah mulai haid. Itu syarat baligh perempuan. Jadilah senjata baru dalam pertengkaran dunia.

"We Mariesa, masuk neraka ko nah!"

"Tidak nah, karena belum paki baligh, jadi tidak berdosa paki!"

"Iyo?"

Musuhku langsung lumpuh seketika.

Mama selalu mengajarkan saya sholat dan puasa. Saya memang sholat. Tapi puasa saya selalu setengah hari, rasanya menahan lapar itu susah. Dan saya belum baligh, saya baru memulai puasa sehari penuh itu ketika saya duduk di bangku SMP kelas 2, saat saya mulai haid.

Pemahaman saya tentang baligh saat haid membuat saya tidak mau puasa dengan penuh.

Mama sama papa tidak pernah memaksa, dan tidak pernah mengiming-imingi saya kado ketika puasa atau sholat saya full!

Saya belajar untuk mengenal Tuhan dengan ikhlas.

Saya pernah bertengkar hebat seusai pelajaran agama saat SD. Kalau belajar agama otomatis kelas di bagi, yang non-muslim ke kelas lain, yang muslim tetap dalam kelas. Saya bisa mengaji dengan lancar, dan saya berani mengejek teman saya yang belum bisa mengaji.

"Ko ndak di kasi mengaji di mesjid sama mama mu kah?"

Itu ejekan atau pertanyaan?

Seusai pelajaran agama, saya membaca buku teman saya yang non-muslim. Awalnya saya bertanya dengan baik dan sepaham. Semuanya sama, kita sama-sama punya nabi Adam sampai nabi Isa. Di sinilah pertengkarannya. Mereka tegas memperkenalkan Tuhannya, dan saya dengan tegas

"Tuhanmu itu manusia, yang ciptakan dia itu Tuhanku!"

Alhasil saya dimusuhi.Lagi-lagi yah...

Mereka bilang, Tuhanku tidak kelihatan, tidak tahu ada apa tidak.

Sosok Tuhan pertama kali dikirimkan dalam wujud orang tua. Dari yang saya tuliskan, orang tua saya diciptakan untuk pelan-pelan memperkenalkan saya pada sikap Tuhan.

Kita diciptakan beda-beda, dibebaskan mencari langkahnya dan memperoleh kasihnya dengan cara apapun yang Halal dan syar'i.

Tuhanku tidak kelihatan yah?
Kentutmu kelihatan?
Nafasmu kelihatan?
Rasa cinta kelihatan apa dirasakan?

Kenapa kamu tidak bisa melihat darahmu sendiri kecuali ketika kamu berdarah karena luka?
Saking dekatnya darah itu melekat pada tubuh, maka kita tidak bisa lihat.

Begitu pula Tuhan, terlalu dekat. Letaknya di hati, makanya saya tidak lihat, tapi saya rasa. Dan saya takut melukai hati ini, karena di sana ada Tuhan, di sini, di hati kecil.

Saya diciptakan bukan untuk langsung menyembah, tapi memahami. Dengan cara mempertemukan saya dengan orang tua dan teman-teman seperti kalian.

Tuhan saya tidak saya ukir dalam kayu lalu saya sembah, tidak saya buatkan kerangka bunga lalu saya sembah. Dia lebih hebat dari apapun, buat apa di ukir, buat apa di bawakan buah maupun bunga? Toh dia yang ciptakan. Dia tidak meminta saya membayar nafas dan darah. Dia hati kecilku.. Allah SWT.

Perlahan saya paham dan mulai menghargai mereka. Semua butuh proses, kami tetap bersahabat. Semua ada jalannya, Semua agama pun sebenarnya mengajarkan pada kebaikan. Namun ada hal yang lebih indah saya dapatkan di sini. Pelan tapi pasti akan hadir di tulisan saya selanjutnya.

:))

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.