Saturday, March 17, 2012

Aku Adalah Anugerah




Sebuah kamar yang ukurannya tak lebih besar dari dapur, tak seluas ruang tamu, namun tak sesempit kamar mandi. Ruangan inilah yang kuanggap sebagai surga, tempat kucurahkan segala perasaanku, dan tempat yang mampu buatku tersenyum bodoh sendiri dalam sepi tersenyum didalam dukaku yang sangat dalam yang tak mampu kupendam lagi. Satu ruangan paling istimewa bagi sebuah keluarga, adalah ruang keluarga, tempat berkumpul bersama dan berbagi canda dan tawa. Aku tak sendiri di rumah ini, aku memiliki ayah ibu yang terlalu sempurna bagiku, dan aku memiliki seorang adik perempuan bernama Fhani, dia duduk di kelas 3 SD, terlalu jauh perbandingan umurnya denganku, karena sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMA, aku sudah cukup dewasa seharusnya. Sesekali kuterdiam berpikir, bisakah aku ikut berkumpul di ruang keluarga bersama semua keluarga? Canda tawa tak pernah terhenti terdengar dari ruangan itu, tapi sedetik saja ku berdiri disitu, canda tawa yang menghiasi ruangan itu seakan menghilang. Terkadang adik kecilku yang selalu memaksaku berkumpul. Tapi tak mungkin bagiku, wajah ayah dan ibu seakan penuh kegelisahan bila aku mulai hadir bersama mereka.

“Tuhaaaaaaaaaaaaaaan…………. Bukankah aku dilahirkan di dunia tuk merasakan kasih sayang?” air mataku tak tertahankan lagi setiap merenungi kisah hidupku. Aku masih mampu mendengar, musik masih mampu kudengar dan masih setia menemaniku. “Aaaaaaaaaaarrrgh!” inginnya kini kuberteriak sekencang mungkin, tapi tak bisa, tak mungkin, hanya suara serak bagai radio rusak yang akan keluar dari kedua belah bibirku.

Bibi Ati berjalan menaiki tangga menuju ke kamarku. Sedih aku melihatnya, tapi mungkin kisahku lebih sedih bahkan menyeramkan tak pernah terpikir olehku, mengapa bisa seperti ini, nyata! Bahwa manusia tak semua baik, bahkan kini kutemukan dihadapanku makhluk yang tidak tahu malu, yaitu orang tuaku. Bibi Ati, dialah orang yang merawatku dari kecil, dia yang meredamkan tangisku, dan memadamkan amarahku, mengelus rambut dikepalaku, terima kasih, masih ada yang memikirkanku.

Hari ini, dengan penampilan yang sangat menarik, kulangkahkan kakiku menuju kebelakang pintu, kuraih tasku, saatnya ku menuju ke sekolah, dimana semua orang yang mengerti diriku ada disana. Dengan sabar bibi Ati menuntunkun berjalan, aku sudah cukup dewasa untuk selalu dituntun. Aku kini berusia 17 tahun, beda dengan beberapa orang dan teman-temanku, mereka sudah mengenal cinta, tak mungkin bagiku, cinta bahkan kasih sayang dari orang tuaku pun tak kudapatkan, apa lagi mencoba mencintai? Mustahil! Tak lama tibalah aku di sekolahku yang sangat kucintai, salah satu SLB di kota terbesar. Ayahku seorang pengusaha kaya raya, terlalu penuh dengan gemilangnya harta, tapi sedetik pun tak pernah dia menegurku, memarahiku, bahkan memukul, jadi rasa sakit hati yang kurasakan bukan karena KDRT, masih syukur aku diizinkan tinggal di rumahnya yang bergaya classic Eropa itu, walaupun dengan sangat terpaksa kuharus tidur dikamar yang bergaya warung tegal atau mungkin warung kopi. Sedangakan ibuku sendiri yang merupakan seorang public figure, yah… bolehlah aku sedikit berbohong, dia cantiiiik!

Sempurna bukan mereka? Sedangkan aku? Autis, dan lututku cacat, tak mudah bagiku berjalan apalagi berlari, tapi aku tak selemah yang kalian pikir. Anganku mungkin terlalu tinggi, terlalu kelewat batas, sangat berlebihan, sebenarnya anganku sederhana, tak perlu uang banyak bahkan harus belajar ke China untuk menggapainya. Aku hanya berharap sekali saja mereka mengizinkanku mengecup pipi mereka, aku hanya ingin katakan aku sayang papa dan mama! Seperti yang selalu dilakukan oleh adikku dengan manjanya. Walaupun tak ada pengakuan dari mulut mereka bahwa aku anaknya, setidaknya adikku menyayangiku, walaupun dia hanya tau aku sebagai anak bibi Ati, “aku bakal anggap kakak seperti kakakku sendiri!” katanya padaku dengan manja saat itu, aku hanya terdiam dan berkata dalam hatiku “aku memang kakakmu!”

Jujur, aku sayang mereka, tapi tak dapat balasan. Banyak anak diluar sana yang terus mencaci orang tua mereka, padahal orang tua mereka sangat menyayangi mereka, dan menerima mereka dengan apa adanya. Inginnya aku berganti orang tua dengan mereka, ambillah orang tuaku yang kaya ini! Alasan logis bagi mereka tak mengakuiku. Padahal aku tampan walau terlihat bodoh.

Di ruang kelas kini kududuk dengan tenang, semua terlihat sangat bahagia, senyum dibibir mereka sangat lebar, tentu saja, hari ini kami belajar seni, siapa sih yang nggak suka seni? Apalagi kalau mereka berjiwa seni dah punya keahlian dibidang seni. Fasilitas sekolahku untuk semua pelajaran bahkan seni sangat lengkap, inginnya tinggal disekolah lebih bagus dari kamarku, tapi dirumah hanya bibi yang mengurus, kalau pilih tinggal disekolah, siapa yang sudi mengurusku?

Semua temanku mulai menunjukkan bakatnya, ada yang berbanyi, berani sekali! Padahal nyanyian yang terdengar sangat samar, mengertilah, tapi aku bangga padanya. Ada yang menari daerah bahkan ngelawak, lucu sekali! Bagi sebagian orang yang normal pasti tidak kan mengerti yang lucu dibagian mana? “Roni!” mendadak bu Siska memangilku, dia adalah guru tercantik disini, walaupun aku autis, aku tidak buta dalam menilai seorang wanita. Dengan sigap kuberdiri membawa stik drum milikku, bersyukurnya aku, walaupun lututku cacat aku masih bisa bermain drum, karena untuk berdiri saja aku tidak sempurna, tapi terkadang bila lama bermain lututku terasa perih. Setiap hari, aku pulang sekolah sore hari, hanya untuk belajar bermain drum. Orang tuaku memang kaya, namun karena menganggap aku bukan anaknya tak satupun fasilitas yang mereka berikan untukku, termasuk drum, padahal membuat studio rekamanpun mereka mampu. Sampai detik ini mereka tidak tahu kalau aku seorang drummer, bila aku pulang larut malam, mereka tidak pernah mencariku, bahkan memarahiku, aku seperti angin yang tidak terlihat, hanya bila bibi Ati menemaniku, pasti mereka mencari bibi Ati, dengan alasan tak ada yang menyediakan mereka hidangan malam. “SETAN BEJAAAT!” seakan ingin kukatakan pada mereka.
Kebetulan sekarang belajar seni, maka dari itu semua temanku beraksi. Sebentar lagi aku akan mengikuti festival musik. Aku punya band, personil bandku terdiri dari semua teman sekolahku, vokalisku lumpuh, gitarisku autis sepertiku, begitu pula bassis.

Tibalah saatnya ku beraksi, “Roni, kamu pasti bisa!” itu kataku dalam hati. Butuh waktu lama bagi kami untuk menaiki panggung, maklumlah kami anugerah terindah. Walaupun Reva sang vokalis harus tampil dengan kursi roda, namun suaranya tidak kalah bagusnya. Aku masih bisa mendengar suara musik, memang cukup lama bagiku dengan temanm-teman untuk mempelajari musik. Perlu penekanan secara perlahan agar musik itu sampai ke sasaran otak yang paling utama. Untuk mencari nada yang pas untuk suara sang vokalis pun tidak semudah anak band pada umumnya. Butuh satu bulan mungkin untuk satu buah lagu. Untung saja hasil latihan kami selalu memuaskan. Harus sabar melatih kami penuh dengan kekurangan. Tapi Tuhan tidak mem-blacklist kami dari data hambanya.

Festival yang cukup meraih, Rava memang lumpuh. Tapi bibir manisnya itu selalu mengeluarkan kata-kata indah. Mampu berbicara dengan lantang tanpa beban. Hanya dia yang selalu bercerita untuk kami. Maklumlah, kelemahannya hanya ada pada kaki. Tapi dia hebat, setahuku. Suara yang indah akan keluar dengan merdu jika bernyanyi dalam keadaan berdiri. Rava justru cukup duduk santai tidak bertingkah, suaranya begitu indah. Seindah wajahnya. Banyak hal yang ingin kuceritakan pada orang-orang disekelilingku. Tapi apa mungkin mereka mau dengan ikhlas bersabar mendengarkan aku berbicaranya? Setiap huruf yang keluar dari mulutku, butuh waktu lima detik untuk terucap. Sulitnya!

Argh, andai saja ketika lahir aku bisa memilih untuk jadi anak normal. Aku akan memilih menjadi anak yang normal. Bukannya aku tidak mensyukuri semua ini. Tapi aku lebih tidak mensyukuri keberadaan kedua orang tuaku. Bolehkah setiap detik aku menagis? Tuhan, begitu tegakah Engkau melihatku menangis?

Aku tidak mengeluhkan semua ini, tapi terpaksa. Aku sudah cukup merasa sakit hati. Aku tidak tuli, aku mampu mendengar. Tapi untuk berbicara cukup sulit bagiku. Untuk menangkap satu pelajaran, sangat sulit bagiku. Butuh berulang kali. Betapa sabarnya Bibi Ati melatihku. Mungkin iya ibuku terlihat begitu abahagia ketika mengandungku. Belum tahu dia kalau aku lahir dalam keadaan autis. Ketika tahu, ini bagaikan suatu kejutan baginya. Terkadang aku bercanda. “Ibu aku mengerjaimu, sorry aku lahir autis. Haha,” semua itu hanya untuk menghibur diriku sendiri.

Diakhir acara, dengan sangat tegang kami menunggu pengumuman festival. “Tuhan memang adil!” kata Reva detik itu, karena kami juara 3, dan aku menjadi ‘Best Player Drummer’ saat itu, karena ini festival besar, banyak wartawan yang datang menghampiriku, beberapa stasiun TV meliput acara ini, karena aku merasa lelah, aku pun membuat janji untuk diwawancarai besok di rumah. Senangnya dikerumuni wartawan. Tapi apa iya mereka mau sabar mendengarkan aku berbicara? Aku yakin mereka sabar, kalau mereka mewawancaraiku dan menulis berita tentangku. Tentu saja mereka dibayar untuk itu.

Keesokan harinya, Ibuku yang merupakan seorang public figure merasa bingung, karena dia berpikir, dia tidak sedang cari sensasi. Wartawan yang mengenal Ibuku sangat heran. Mereka datang kan untuk mencariku, bukan mewawancarai seorang Ibu muda cantik berhati keji. Kuucapkan dihadapan para wartawan dengan sedikit gagap, “aa..ku, aaanaknya..yang berprestaaa..si’!” Entah apa yang ada dipikiran mereka, tapi aku bangga. Aku tidak butuh semua orang tahu aku anaknya. Yang kubutuhkan hanyalah adikku tahu, kalau aku benar-benar kakaknya. Kami lahir dari rahim yang sama. Aku tidak ingin mereka mengakuiku karena telah berprestasi, karena bagiku mereka adalah orang tua yang tidak tahu berterima kasih. Entah berapa milyar mereka bayar dokter persalinan Ibuku detik itu, untuk ikut menutupi kelahirannku dan menyatakan aku telah tiada di hadapan media. Kini biarlah Ibuku semakin terkenal, dengan datangnya diriku mengaku sebagai anaknya. Dengan hal ini pun, wartawan semakin banyak memperoleh berita terbaru yang bisa semakin dikupas dalam-dalam. “Selamat datang Infotaiment, di rumahku yang bergaya classic Eropa ini,” gumanku.

Aku menunggu, saatnya dimana aku akan dimarahi. Jujur, itu adalah hal yang kutunggu. Berharap setelah dimarahi aku akan balik marah kepada mereka. Dan mereka datang membujukku. Layaknya orang tua pada umumnya. Inginnya kurasakan yang kalian rasakan.(Terbit @KekerMagz edisi perdana)

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.