Saturday, March 17, 2012

Bunga Itu Dia





Tirai ini kubuka, sesaat seakan kumenatap sebuah gambaran kilasan cahaya. Akankah mampu kutelusuri hidup baru ini? Waktu yang panjang telah kulalui, masa-masa yang sulit pun telah aku jalani, embun itu seakan menguning, arti dari segala hal telah memudar.

Apakah benar bersama setangkai bunga ini aku akan bahagia? Banyak bunga yang telah kucoba, kucoba untuk merasakan bunga itu satu per satu, banyak rupa terlihat, banyak watak tersirat, namun mengapa kujalani semua bersamamu kini?

Bukan berarti diri ini menyesal, namun diri merasa berbeda, kadang ku masih mengingat wangi bunga-bungaku yang dulu, dan bunga terakhir yang sempat kumiliki, bagaimana kabar bunga itu sekarang? Bunga itu mungkin tak tahu, bila aku telah memasang janur kuning dihadapan rumahku, dan sesaat kutermenung di malam sunyi ini, kurasakan sesuatu membelai leherku, terasa hangat namun sangat geli. Membelai wajahku, dan saat itu kuteringat sosok bungaku yang terakhir, aku ingin dia yang membelaiku, aku ingin merasakan semua ini dengannya, namun mengapa? Tangis berderai, air mataku berjatuhan, aku pun ingin bunga terakhirku yang mengusap air mata ini, namun mengapa setangkai bunga ini yang melakukannya?

Setangkai bunga ini mungkin berpikir. Tangis ini karena kutakut harus melakukannya malam ini, dan melepas semuanya malam ini, tapi bukan karena itu, aku ingin melakukan semuanya dengan yang lain, dengan bunga terakhirku. Isakku semakin dalam, aku tidak mampu menahannya, kuterduduk diatas malam, setangkai bunga itu berdiri dihadapanku, dia masih membelai wajahku, menghapus air mataku, tapi ini harus kulakukan, aku miliknya sekarang.

Dosakah bila aku menghindar? Dan aku sangat merasa berdosa bila aku melakukannya bukan dengan bunga yang kucintai, aku ingin menolaknya, namun kini kusadari kutelah hanyut dalam belaiannya.

***

“Pagi Hanum!” sapa ibuku saat itu, aku hanya dapat mengangguk, dia melihatku berjalan dengan lemas, seakan tak bisa hidup. “Num, awalnya ibu juga begitu!” kata-kata ibuku seakan beliau menyangka aku begini karena semalam, tapi bukan karena itu, tapi karena aku menyesal melakukannya semalam. Aku lalu beranjak dari tempatku menuju ke taman bunga dibelakang rumahku, disana aku terus mengeluarkan air mataku, perih hati ini, mengapa aku melakukannya?
Kuambil secarik kertas, aku ingin mengirim sepucuk surat ini kepada bunga terakhirku.

Kuingin katakan padanya, bahwa aku telah bersama yang lain. Tapi rasa bingung sejenak menyelimutiku. Dengan kata-kata seperti apakah kuharus menjelaskannya? Apakah dia juga punya yang lain? Dan telah menjalani sebuah malam bersama yang lain?

Dulu, bunga terakhir itu adalah kekasihku, namanya Serdan. Aku dan dirinya telah lama menjalani hubungan, sebenarnya sudah ada persetujuan, tapi dia pergi, tanpa kabar angin. Tapi dia sempat berkata akan kembali, namun tidak ingin menjelaskan kemana dia pergi. Kedua orang tuaku tidak mau menunggu, terpaksa kubiarkan diri ini bersama yang lain.

Jahatkah aku padanya? Sungguh aku tidak pernah mengucap janji akan menunggunya, namun dia berjanji akan datang padaku. Namun tak kunjung jua menghampiriku.

Esok adalah hari yang berat. Aku harus tinggal seatap dengan bunga yang berstatus suamiku. Bunga ini bernama Deran. Deran begitu lembut padaku. Awalku dikenalkan padanya dia dengan ramah menyapu keheningan yang ada seraya membuat suasana menjadi sehangat mentari.
Tapi tak seindah Serdan. Lelaki yang kokoh yang sangat kuat, selalu ada di setiap hariku, serasa bagai nyawaku. Nyawaku, nyawa bagiku.

Aku masih hidup, masih bernafas walau Serdan tidak disampingku. Aku masih mampu hidup. Tapi bagai mayat hidup.

***

Hari bahagia bagi Deran datang. Senyumnya begitu hangat. Ruas jarinya terseka, kututup kosong dalam ruas jari itu dengan jari-jariku. Ku tutup bibir yang tak kunjung mengatup itu dengan bibirku. Sekali lagi, aku menangis.

Tidak, aku tidak menangis bahagia. Aku mau Serdan. Aku mau menutup bibirnya. Aku mau mengisi celah dalam seka tiap jarinya. Namun apa daya. Tiada daya.

Pikiran kuno sempat menghiasi. Mengirim surat? Kepada siapa, akan ke mana surat itu tertuju. Serdan, maafkan aku, maafkan aku.

***

"Aku mau kamu, aku mau kamu jadi bagian dalam diriku," urai Serdan seraya mengecup keningku.
"Aku juga mau, tergantung kamu sayang. Kalau kamu mau aku pasti mau," kataku hangat sedikit manja seraya melingkarkan kedua tanganku di perutnya.
"Kalau aku jauh, kamu mau tunggu aku," tanyanya.
"Siap komandan, aku menunggumu," kataku.
"Kalau aku datangnya lama buat kamu, masih tetap mau nunggu?"
"Memangnya selama apa? Kamu mau buat aku jadi perawan tua dan kau pinang aku di usia tua?"
"Bukan itu maksudku. Aku bertanya sekedar ingin tahu,"
"Lalu, kalau kamu tahu?"
"Aku mau tahu Hanum!"
"Aku tunggu kamu, tapi semua di luar kehendaki ku, aku tidak pernah mampu meraba apa yang akan kuhadapi esok,"
"Aku mampu merabanya, aku mampu,"
"Kamu mau raba apa?" tanyaku sedikit menggoda.
"Masa depan kita Hanum. Kalaupun ada yang menyentuhmu lebih awal dariku, aku tidak akan menyesal, aku tidak perlu jadi yang pertama buatmu. Cukup jadi yang terakhir dan selamanya untukmu."

***

Khalayan itu kandas seketika saat Deran menepuk bahuku. Dia sekali lagi tersenyum. Jika dunia terasa indah dengan cinta, mungkin aku akan bosan dengan senyuman yang baginya berarti cinta.
Serdan, sungguh maafkan aku. Sangat sulit ketika dihadapkan dengan pilihan hati dan orang tua. Namun aku percaya, orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Aku yakin Deran terbaik untukku.

Aku akan belajar mencintainya. Belajar memberinya hidup dan bahagia. Aku miliknya kini dan nanti. Aku bersamanya, namun Serdan?

Perjalanan panjang mengantarku pada rumah yang aku sendiri tidak yakin kalau ini rumah. Tampaknya seperti suatu tempat bercinta ala dongeng. Penuh dengan tanaman hijau dan bunga mekar dipenuhi warna yang coraknya tak mampu kulukiskan satu per satu. Corak yang sedikit mengganggu mataku. Salah satu bunga itu berwarna terlalu terang, namun indah. Tak perlu menunggu suami pulang membawakan bunga layaknya film-film yang menggambarkan keromantisan hubungan sepasang kekasih di dunia karangannya.

Tak seperti itu, aku punya banyak bunga setiap hari. Dan aku punya bunga hati.
Pagar tinggi menjulang dengan lebar sekitar satu meter yang kurasa cukup berat untuk di buka oleh seorang penjaga rumah yang kurasa dengan segera kan memanggilku NYONYA.
Warna coklat elegant dari pagar itu sungguh menarik, apa ini berlebihan? Tidak, ini yang Tuhan beri untukku, apa sekaranglah saatnya aku bersyukur? Saatnya ku bersujud?

Tidak, aku selalu melakukan itu. Berharap tak pernah meninggalkan kebiasaan ibadah itu.
Gagang pintu itu bila kupukulkan ke kepalaku jelas sudah aku akan mati, jelas sudah cairan merah mengalir dengan tenangnya lalu berjatuhan hingga tubuh ini pucat pekat.

Peach. Warna lembut yang dipilih untuk jadi warna yang senantiasa terinjak, diinjak, sengaja injak. Injak saja. Sumpah, aku ingin meludah! Apa Deran akan marah ketika lantai ini kuludahi? Aku tak pernah melihatnya marah. Kuharap tidak pernah, aku ingin cinta.

***

"Hanum, berapa kali harus kukatakan. Jangan pernah kau sangkut pautkan hubungan kita dengan cara kita menjalaninya," kata Serdan keras membuat gendang telinga ini berdengung tak beraturan.
"Maksud kamu?"
"Aku cinta sama kamu Hanum. Jangan salahkan hubungan kita, jangan salahkan cinta kita. Jangan Hanum! Caraku memperlakukanmu yang salah. Aku terlalu takut kau hilang," jelasnya buatku sedikit tenang.
Kadang ku tak kuat menerima perlakuan seperti itu. Dia tidak pernah memukulku. Hanya saja sedikit membuatku jantungan bila murka. Dia marah karena cinta. Dia marah karena dia tidak ingin aku terluka. Tapi dia marah dan nyaris memenuhi hati ini dengan luka. Jangan Serdan, aku cinta. Jangan ubah cinta ini.

***

Haruskah kupikir ketika Serdan marah agar aku mampu melupakannya. Manusiawi, marah itu manusiawi, Nabi pun di beri emosi, di beri kemarahan namun sabar.

Tuhan, apakah Deran jodohku? Nagai membeli barang di toko yang berhamburan produk dengan berbagai macam brand dari dalam maupun luar negeri tak lupa dihiasi segudang barang bajakan dan tiruan yang akrab disapa KW Super dan kawan-kawannya.

Aku tidak srek dengan barang dihapanku ini (Deran). wajahnya tampan, tubuhnya tinggi, berotot, putih untuk ukuran lekaki, rambut sedikit memerah, bibir tipis berwarna pink, pipi yang halus, hidung mancung, tatapan hangat dari kedua bola mata coklat itu. dan tentu saja isi dalam celana yang mantap.

Tapi apa iya Serdan lebih dari yang ada dihadapanku ini?
Dia lelaki tinggi dengan senyum sinis bertubuh kokoh, bergaya ala musisi yang senantiasa menyenandungkan lagu beraliran hard-core, metalcore, bahkan death metal. Namun terkesan rapi, bersih dan sangat menarik.

Dia sempurna bagiku, aku mencintainya. Masih.

***

Istana ini begitu indah bagiku. Tuhan terima kasih atas segala yang Kau beri untukku. Cinta dari Deran, istana megah darinya, materi yang tak mampu kugenggam, segudang cerita cinta yang ku bangun setiap hari bahkan setidap detik dengannya.

Usia pernikahan ini menginjak setahun sekarang. Tak terasa sudah empat tahun ku tak bertemu serdan dan telah bercinta selama setahun dengan Deran. Namun sampai detik ini tak juga momongan menghampiri rahim di balik perut ini.

Adakah yang salah dengan cara kami melakukannya. Adakah yang kurang kami pahami? Kurasa kucukup sebagai perempuan untuknya. Cukup mampu membuatnya melayang hingga mentari hendak menyapa di pagi hari.

Aku ingin mendapat sapaan baru. Layaknya pasutri yang lain. Sapaan hangat dari bayi. "Mama". Aku mau sapaan itu, sungguh mau.

Deran begitu menyanyangiku, dia begitu sabara, tidak sedikitpun menuntut, namun sangat mengerti keinginanku untuk menyapu tangis bayi.

Dia pun melakukannya untukku. Dia berlagak layaknya bayi, emanggilku mama, memelukku, bermanja di buah dadaku dengan gaya bayi, dia menghiburku. Membuatku tertawa dan berkata.

"Mama sabar yah, mungkin belum sekarang saatnya anak bayi yang panggil mama, jadi biar suami yang berlagak bayi dulu yang memanggilmu mama," katanya hangat.
Daren, terima kasih.

***

Satu tahun lebih enam bulan telah kulewati. Berita yang bagiku sedikit buruk namun membuatku penasaran. Jujur aku mulai mencintai Daren. Aku rasakan bahagia. Aku diberi cinta dan kehangatan. Aku mulai mencintainya. Sekali lagi kutegaskan, AKU MULAI MENCINTAINYA.
Serdan datang. Lebih dulu menghampiri keluargaku, di rumah Ibu. Dia mengecup punggung tangan ibuku layaknya perlakuannya sewaktu dulu saat menjamuku di rumah.

Ibu sontak tak kuasa menahan keheranan dan takut akan apa yang terjadi. Aku yang telah berkeluarga. Aku melihat Serdan. Kebetulan sinag ini aku berkunjung ke rumah Ibu, aku kangen pada Ibu, aku sangat merindukannya, merindukan Ibu.

Aku berkunjung dan Serdan datang. Aku tak menyapanya lebih dulu. Dia semakin dewasa, sungguh tak kuasa memalingkan pandangan ini dari dirinya. Tuhan yang mana dari mereka anugerah untukku, dan manakah yang jadikan cobaan untukku. Tuhan aku telah merasa bahagia dan mulai mencintai, apa maksud semua ini Tuhan? Bila Serdan datang bersama seorang perempuan yang menggendong bayi, mungkin aku cukup tenang, karena kami impas. Namun apa yang ku lakukan? Tuhan jawab aku! Jawab aku Tuhan! Bisakah Kau langsung menjawabku?
Di balik tirai dalam rumah kutertegun terpanah entah tersentak, entah kaget entah apa pun itu yang tak mampu terurai dari kedua belah bibirku. Aku tak kuasa. Aku takut, apa ini Tuhan?
Ku dengar mereka bercerita depan pintu, Serdan meminta maaf karena baru datang sekarang dan mengucap syukur karena katanya kami sekeluarga masih menetap ditempat yang sama. Apa? Kami? Aku sudah tidak di sini, aku punya istana bersama Daren.

Dia utarakan tentang lamanya kepergiaannya. Hingga kini baru bisa hadir dihadapan keluargaku. Dia menanyakan keberadaanku.

Ibu. Iya Ibu, dia ibuku tidak menjawab di mana keberadaanku. Ibu dengan lancangnya menjawab.
"Hanum telah bersuami," jawabnya.

Entah, aku tak tahu namun aku mampu merasakan. Serdan kecwa, tepat dia kecewa dan sangat kaget. Dia terdiam. Terdiam cukup lama. Sangat lama tanpa suara, atau mungkin tak bernafas. Tas ada buih dari bibirnya, tidak ada, tidak ada busa, yah tidak ada, dia tidak meminun racun. TIDAK SAMA SEKALI.

"Maaf Serdan. Kedatanganmu untuk apa?"
"Ibu, aku pun telah dengan tulus menganggap Ibu dari Hanum Ibuku sendiri. Telah dengan usaha cukup besar akan datang meminang Hanum. Maafkan kepergianku tanpa kabar. Ibu yakinkan ibu Hanum bahagia?"
"Ibu yakin Hanum bahagia. Ibu sangat yakin Hanum bahagia. Ibu berharap kamu pun bahagia Serdan,"
"Aku yang salah. Aku pergi meninggalkan Hanum, aku yang salah. Aku salah Ibu. Asal Hanum bahagia, aku pun kan bahagia."
Tangisku tak bisa tertahan. Tuhan, dia begitu tulus, dia kembali menepati janjinya, ucapannya padaku. Tapi ke aman dia selama ini. Aku ingin menemuinya.
Langkahku cepat menuju pintu. Namun yang tersisa hanya punggung Serdan, hanya punggungnya yang terlihat, bukan wajahnya.
Ibu lalu menutup mulutku untuk tidak memanggilnya, Ibu menyeka air mataku. Ibu mengerti aku. Ibu mengerti Serdan kecewa, namun apa daya ku telah menikah.
"Seeeeeeeeeeerrrrrrrrrddddddddaaaaaaaan!"

Tak kuasa ku tahan. Dia berbalik, melambaikan tangannya.
"Kalau aku harus jadi yang terakhir mungkin bukan di dunia Hanum. Dunia sementara, aku mau yang terakhir dan selamanya, aku menunggumu di keabadian," katanya mendekatiku. Lalu terhenti, tersenyum, dan berbalik menjauh.

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.